Musim pemilu sebentar lagi akan tiba, partai politik selaku aktor utama dalam gelanggang pertarungan di panggung pemilu kembali melirik rakyat sebagai pemegang stempel utama untuk memberikan cap "penguasa" terhadap setiap kader yang diusung oleh partai politik baik itu yang didistribusikan untuk duduk di eksekutif maupun legislatif.
Belum lama ini rakyat disuguhkan oleh drama horor politik tentang saling sikut nya partai baik dalam tema korupsi, perebutan kursi menteri, sampai upaya pemerintah menaikkan harga BBM. Semua manuver dan kebijakan yang diambil semata-mata demi kepentingan kelompok dan golongan, atau bahkan diantaranya kepentingan individu. Motif dasar politik diabaikan, termasuk setiap ajang pemilu hanya sekedar diajadikan ajang perebutan kekuasaan!
Memang betul bahwa esensi politik adalah kekuasaan, dan kekuasaan merupakan sasaran antara dari politik. Namun kekuasaan itu semata-mata harus dipergunakan untuk memperjuangkan kepentingan masyarakat. Dengan kekuasaan, antagonisme sosial dapat diminimalisir, sehingga integrasi bisa terwujud tidak hanya secara negatif yakni menciptakan stabilitas tetapi juga secara positif dengan menghadirkan pembangunan masyarakat yang adil dan sejahtera. Begitulah keyakinan politik yang harusnya dianut oleh setiap partai dan para politisi.
Di dalam preambule UUD sudah jelas dikatakan bahwa tujuan negara ialah untuk melindungi segenap bangsa dan tumpah darah indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan berpartisipasi dlm menciptakan ketertiban dunia. Hal ini seharusnya menjadi visi setiap partai. Partai boleh saja berbeda pada level metode implementasi, namun tidak dalam level visi. Kekuasaan politik harus bertujuan untuk menjalankan amanat konstitusi karena kekuasaan tidak memiliki tujuan untuk dirinya sendiri (Power is not for power itself).
Bahkan tokoh realis sekelas machiavelli saja menganjurkan moral dalam perjuangan kekuasaanya yakni memenuhi national interest.
Namun apa yang terjadi di bangsa kita sangatlah berbeda. Kekuasaan hanya tertuju pada kepentingan kelompok dan golongan. Penyakit Oligarchy politik begitu akut mengidap dalam tubuh partai dan kehidupan politik hari ini. Hal inilah yang jauh hari sudah diingatkan oleh M. Gandhi sebagai salah satu dari tujuh dosa sosial yaitu politik tanpa moral.
Lunturnya dimensi moral dalam politik membuat rakyat semakin tersingkir dalam tujuan politik. Dia tidak lagi menjadi prioritas dalam tindakan, walau tetap menjadi hal yang utama dalam retorika di ruang publik. Gotong royong sebagai wujud ekspresi moral dalam politik kemudian digeser oleh wajah kompetisi bahkan dominasi.
Pemilu pada dasarnya bertujuan menjalankan proses regenerasi kepemimpinan untuk mengisi lembaga-lembaga pemerintahan, disamping itu juga untuk membangkitkan partisipasi rakyat dalam menentukan para pemimpin yang akan mewakili sehingga diharapkan dapat meruntuhkan tembok perintang yang diciptakan oleh sekelompok kecil orang demi mempertahankan status quo nya. Sayang, sakralnya pemilu selama ini dikotori oleh ritual kampanye dengan sesajen pepesan kosong (janji-janji politik). Aktor-aktor politik masih teguh dengan asumsi bahwa rakyat mengidap amnesia sejarah, yang akan bisa dikelabui dengan wejangan iklan dan retorika untuk membangun opini publik.
Tentu rakyat merekam setiap jejak politik partai dan para politisi setiap periode, rakyat memang selama ini menjadi subjek pasif dalam arena penentu kebijakan, namun rakyat tetap bisa menentukan mana yang baik dan mana yang buruk. Merupakan bencana bagi sistem politik kita apabila apatisme rakyat dalam pemilu menjamur karena akan berdampak pada berkurangnya legitimasi trhadap pemerintah dan rapuhnya kesadaran bernegara.
Hari ini yang terjadi ialah rakyat teralienasi dalam ruang politik akibat samarnya rasa keterwakilan yang dialami rakyat oleh para wakilnya ketika pemilu berlalu. Konsep keterwakilan hanya dijalankan dalam konteks penempatan wakil-wakil rakyat pada proses pemilu. Dalam hal ini kualitas keterwakilan pun dipertanyakan. Keterwakilan tentu tidak boleh berhenti pada soal pemilihan wakil, tetapi juga melibatkan rakyat dalam proses pembuatan serta pelaksanaan kebijakan. Dengan begitu terjadi proses transformasi dua arah antara yang mewakili dan yang diwakili. Inilah yang sering diistilahkan sebagai demokrasi deliberatif dalam ilmu politik kontemporer. Keterwakilan dalam hal ini bukan hanya sebuah usaha untuk memperdekat jarak antara sang wakil dan yang diwakili, namun lebih dari itu terjadinya peleburan rasa dan cita-cita dua unsur menjadi satu.
Oleh karena itu, kehadiran moral politik dalam tubuh partai dan para politisi menjadi faktor penentu terhadap kualitas pemilu agar orientasi kebijakan benar-benar tertuju kepada rakyat yang merupakan cikal bakal diadakannya negara. Hanya dengan begitu posisi rakyat dalam tujuan atau visi politik kembali menjadi prioritas dalam tindakan!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H