Pertanyaan tersebut begitu menggelisahkan saya akhir-akhir ini. Di tengah ramainya aksi demonstrasi penolakan rencana pemerintah menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) bersubsidi, bangsa ini seolah-olah kehilangan pemimpinnya. Ironisnya, yang justru terlihat adalah meningkatnya jumlah pengamanan dengan persenjataan lengkap seakan-akan negara ini akan dilanda suatu huru hara besar.
Kehadiran seorang pemimpin dalam kondisi yang seperti sekarang ini amatlah diperlukan. Penjelasan tentang alasan pengambilan kebijakannya sangat diperlukan untuk memberikan pencerahan bagi masyarakat luas. Sayang, hingga kini, belum ada satu pun yang berani tampil di muka umum dan mengambil tanggung jawab secara penuh untuk menjelaskan kepada seluruh masyarakat. Kalaupun ada, mereka hanyalah para pelaksana kebijakan.
Saya jadi teringat dengan tulisan dalam sebuah spanduk yang terpampang didepan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) beberapa waktu lalu. Isi tulisan tersebut adalah “negeri auto pilot”. Kata “auto pilot” merujuk pada suatu sistem fungsi automatis pada sebuah pesawat yang memungkinkannya bergerak tanpa dikemudikan secara langsung oleh seorang pilot maupun co-pilot. Dan kita semua tentu paham dengan peran vital pilot dan co-pilot dalam sebuah penerbangan.
Ada beberapa hal yang menyebabkan sebuah bangsa dapat dianalogikan sebagai negara auto pilot. Pertama, tidak terlihatnya kendali dari seorang pemimpin dalam mengatasi berbagai permasalahan bangsa. Kedua, ada kekuatan tidak terlihat atau invisible hand yang menjadi “pengendali sebenarnya” dari perjalanan sebuah bangsa.
Dan, Indonesia “nampaknya” telah menjadi sebuah negara auto pilot. Karena faktanya, kita tidak menemukan sosok pemimpin yang mampu mengendalikan serta menyelesaikan berbagai permasalahan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Justru yang sering diperlihatkan semacam “curahan hati” dari seorang pemimpin ketimbang solusi atas permasalahan yang terjadi.
Bayangkan, di tengah eskalasi aksi demonstrasi menolak rencana kenaikan harga BBM bersubsidi. Bangsa ini justru “ditinggal pergi” oleh pemimpinnya. Seolah-olah tidak mau mendengar dan menyikapi apa yang sedang terjadi. Rupanya, menjalin hubungan baik dengan pemimpin bangsa lain lebih mendapat tempat utama ketimbang menjaga hubungan dengan rakyat sendiri.
Nampaknya, amanat yang diberikan secara langsung oleh rakyat telah disia-siakan. Apakah mereka lupa?. Bukankah mereka—Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Wakil Presiden Boediono—mendapatkan mandat untuk menjadi pemimpin negeri ini secara langsung dari rakyat Indonesia. Karenanya, Presiden SBY sejatinya harus lebih mengedepankan kepentingan masyarakat Indonesia.
Bangsa ini butuh seorang pemimpin bermental baja yang mampu memikul tanggung jawab beserta risiko-risikonya. Pemimpin yang mampu memberikan pencerahan bagi seluruh rakyatnya. Pemimpin yang memiliki keberpihakan pada kepentingan rakyat. Pemimpin yang peduli dan mau mendengar serta mencarikan solusi terbaik guna mengatasi permasalahan berbangsa dan bernegara. Bukan pemimpin yang hanya memikirkan keselamatan keluarga dan Partai Politiknya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H