Pernyataan kontroversial kembali digulirkan oleh para petinggi Partai Demokrat. Setelah, Marzuki Ali dan Ramadhan Pohan, kini giliran sang Ketua Umum, Anas Urbaningrum. Di hadapan sejumlah wartawan, Anas dengan penuh rasa percaya diri menyatakan kesiapannya digantung di Monas (Monumen Nasional) jika terbukti melakukan korupsi.
Pernyataan ini merupakan tanggapan Anas atas tudingan keterlibatannya dalam kasus korupsi pembangunan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Olahraga di Hambalang, Bogor, Jawa Barat. Tudingan keterlibatan Anas diungkapkan oleh mantan Bendaraha Umum Partai Demokrat, M Nazaruddin, pada persidangan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Aksi saling balas pernyataan pun mengemuka dan menghiasi ruang pemberitaan di berbagai media massa. Publik pun kian bertanya-tanya. Siapa yang benar dan siapa yang berbohong. Seperti kita ketahui bersama, dalam persidangannya, M Nazaruddin, mulai menyebut-nyebut keterlibatan sejumlah petinggi Partai Demokrat. Bahkan beberapa nama sudah mulai ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Terlepas dari pertanyaan publik di atas. Menurut saya, apa yang diungkapkan oleh Anas kepada wartawan merupakan bentuk kepanikan dan ketidaksiapannya berargumen dalam menghadapi tekanan situasi. Sebagai seorang politisi, Anas, seharusnya memahami dengan baik bagaimana harus bersikap serta mengeluarkan pernyataan. Bukan dengan mengeluarkan pernyataan yang justru berpotensi membiaskan substansi permasalahan.
Lebih dari itu, apa yang diungkapkan Anas juga menunjukkan ketidakcerdasannya sebagai seorang pemimpin Partai Politik. Nampaknya, demi mencari dukungan serta simpati dari masyarakat, Anas mulai mengikuti jejak sang patron. Dengan menempatkan diri sebagai pihak yang terzalimi, Anas “mungkin” berharap dapat memutarbalik opini yang beredar di masyarakat tentang dirinya dan Partai Demokrat.
Terlepas dari hal tersebut di atas. Mencuatnya beragam pernyataan kontroversial yang sering dikeluarkan para politisi mencerminkan ketidakdewasaan sikap politik dari para politisi kita. Mereka lebih suka bermain dengan kata-kata yang mengundang kontroversi. Mereka juga lebih suka menghabiskan energinya hanya untuk beradu argumen yang justru berpotensi mengaburkan substansi permasalahan yang terjadi.
Tidak pernah dalam setiap perdebatan yang dilakukan melahirkan suatu konsep politik yang membangkitkan gairah masyarakat. Tidak ada perdebatan yang mengedepankan intelektualitas sebagai politisi. Mereka pun seringkali hanya mampu tampil sebagai pendompleng atas keberhasilan orang lain.
Karenanya, tidaklah mengherankan jika politik yang mencerahkan “nyaris” tidak pernah kita dapatkan. Ruang politik kita hanya dipenuhi perdebatan para politisi tanpa makna. Para politisi kita baru mampu mengumpulkan serta mengemas beragam kalimat untuk konsumsi media massa. Dan masih memahami secara sempit apa itu politik bahasa.
Seorang filosof terkenal, Pierre Bourdieu, mengungkapkan bahasa adalah alat propaganda (Prof. Dr. Armada Riyanto, CM; 2011; 64). Dalam Kamus Bahasa Indonesia on-line, propaganda dimaknai sebagai penerangan atau pendapat tentang benar atau salah yang dikembangkan dengan tujuan untuk meyakinkan orang. Dan nampaknya, para politisi kita—termasuk Anas Urbaningrum—lebih senang memainkan hal ini.
Sebagai kalimat bahasa, sebuah ucapan juga memiliki kekuatan untuk mengubah. Lewat pernyataannya, Anas berusaha mengubah persepsi publik menyusul tudingan keterlibatannya dalam kasus korupsi proyek di Hambalang. Dan sebagaimana politisi tanah air, Anas lebih suka mengeluarkan pernyataan kontroversial yang justru dapat membiaskan permasalahan.
Satu hal yang penting kita pahami bersama. Pernyataan-pernyataan tanpa memiliki dasar yang kuat tidak akan pernah mampu menyelesaikan suatu permasalahan. Pernyataan tersebut hanya akan melahirkan opini yang berujung pada perdebatan panjang tanpa makna.