Mohon tunggu...
Muhammad HelmiMusyaffa
Muhammad HelmiMusyaffa Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Pelajar

Hobi Jalan Jalan, Voli

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Bakpia Simbol Kearifan Lokal dalam Dunia Modern

7 Agustus 2024   16:11 Diperbarui: 7 Agustus 2024   16:15 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Pasti sudah tidak asing lagi dengan yang namanya Bakpia? Ya benar, makanan ini merupakan khas dari Yogyakarta. Bakpia telah mendapatkan tempat sebagai makanan khas Yogyakarta karena berbagai macam proses yang tertaut di dalamnya. Makanan ini merupakan perpaduan antara cita rasa Tionghoa dengan lokal, yang awalnya menggunakan minyak babi bermetaforsis menjadi kue bulat tanpa minyak babi dan bisa diterima oleh semua kalangan. Kehadirannya pertama kali di Yogyakarta karena usaha untuk memberi "warna" lain dari jenis makanan kecil yang waktu itu tidak banyak variasinya dan kebanyakan berupa makanan tradisional daerah atau roti yang diakulturasi dari Belanda. Perpanduan tersebut menciptakan ruang bahwa akulturasi dan toleransi antara orang Tionghoa dan Jawa tidak hanya terwujud dalam kehidupan sehari-hari tetapi juga dalam wujud makanan.

Secara historis, Bakpia adalah makanan 'Impor' dari negeri Tiongkok yang dibawa oleh para imigran Tionghoa pada dekade awal abad ke-20. Bakpia konon sudah ada sejak tahun 1930-an. Dimiliki oleh keluarga-keluarga pedagang Tionghoa yang banyak menempati pusat Kota Yogyakarta. Jenis makanan ini awalnya bukanlah makanan komersial, juga bukan makanan yang bernilai kultural seperti kue keranjang yang sering menjadi kue dalam perayaan Imlek. Posisinya adalah sebagai pelengkap dari kue keranjang tersebut dan sebagai kudapan keluarga.

Resep Bakpia awalnya dibawa oleh seorang Tionghoa yang berasal dari Wonogiri bernama Kwik Sun Kwok pada tahun 1940-an. Beliau menyewa tempat untuk usahanya milik Niti Gurnito di Kampung Suryowijayan, Mantrijeron Yogyakarta. Setelah Ksik Sun Kwok pindah kampong di sebelah Barat Kampung Suryowijayan, Niti Gurnito melanjutkan usaha pembuatan dan penjualan Bakpia di lokasi lahannya. Dalam pengelolaan Niti Gurnito, usaha ini berkembang menjadi semakin besar dan menebus pasar hingga ke Prambanan, Sleman, dan Bantul. Produksi Bakpia yang dikelola oleh Niti Gurnito saat itu lebih dikenal dengan sebutan bakpia Tamansari atau kemudian juga disebut sebagai Bakpia Niti Gurnito.

Bakpia biasanya berisi kacang hijau, keju atau kacang merah, dibungkus dengan kulit tepung. Karena rasanya yang enak dan isinya yang lembut, banyak wisatawan yang berkunjung ke Yogya menjadikan kue Bakpia sebagai oleh - oleh utama. Salah satu kue Bakpia dari Yogya yang cukup terkenal yaitu Bakpia Pathok. Oleh karena itu Bakpia ini berasal dari daerah Pathok Yogyakarta sehingga sering disebut Bakpia Pathok.

Usaha untuk mempertautkan keberadaan Bakpia dengan tradisi syukur yang pernah berjaya pada masanya di kampung-kampung atau desa-desa di wilayah Yogyakarta merupakan usaha kreatif warga masyarakat dalam memberikan warna yang berbeda agar Bakpia tidak hanya tertautkan dalam aspek ekonomi semata tetapi juga mengisyaratkan kandungan keharmonisan dan keseimbangan yang melekat dengan budaya Yogyakarta. Dengan demikian ketika disadari bahwa penjualan Bakpia sangat tergantung dari sektor Pariwisata, maka usaha untuk mengupayakan kondisi harmonis dan jaminan rasa aman di wilayah Yogyakarta menjadi prasyarat utama dalam menunjang keberlanjutan sektor ini. Bakpia tidak sekedar dipahami sebagai salah satu jenis makanan khas Yogyakarta, tetapi banyak aspek kehidupan melekat di dalamnya.

Dengan demikian, Bakpia kue tradisional Indonesia yang terkenal, mencerminkan kekayaan budaya kuliner dan keragaman rasa yang dapat ditemukan dalam masakan Indonesia. Dengan tekstur kulit yang renyah di luar dan isian yang lembut di dalam, Bakpia bukan hanya sekadar makanan penutup, tetapi juga simbol dari tradisi dan inovasi kuliner yang terus berkembang. Asal-usulnya yang bisa ditelusuri ke Yogyakarta menunjukkan bagaimana Bakpia mampu menggabungkan resep tradisional dengan teknik pembuatan modern, menarik perhatian baik dari masyarakat lokal maupun internasional.

Bakpia juga mencerminkan adaptasi budaya, dengan varian isian yang semakin beragam, mulai dari kacang hijau klasik hingga cokelat dan keju. Dengan demikian, Bakpia bukan hanya memperlihatkan keanekaragaman kuliner Indonesia, tetapi juga mengilustrasikan bagaimana makanan dapat menjadi jembatan antara warisan budaya dan tren kontemporer, menawarkan rasa yang tidak hanya memanjakan lidah tetapi juga menceritakan kisah budaya yang kaya. Bakpia tidak hanya memiliki nilai budaya, tetapi juga memegang peranan penting dalam ekonomi lokal dan pariwisata. Kue ini sering kali menjadi oleh-oleh khas yang dicari wisatawan, yang meningkatkan pendapatan bagi pengusaha lokal dan memperkenalkan tradisi kuliner Indonesia kepada dunia luar. Selain itu, Bakpia menggambarkan bagaimana tradisi kuliner dapat beradaptasi dan berkembang seiring waktu. Misalnya, inovasi dalam variasi rasa dan bahan baku yang digunakan menunjukkan kreativitas dan keterbukaan dalam kuliner, serta kemampuan untuk memenuhi selera pasar yang berubah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun