Mohon tunggu...
Helmi Faisal 55522110039
Helmi Faisal 55522110039 Mohon Tunggu... Mahasiswa - Kampus UMB Dosen Pengampu Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak Jurusan Magister Akuntansi Mata Kuliah Pajak International

Helmi Faisal Kholagi 55522110039; Jurusan Magister Akuntansi; Fakultas Ekonomi dan Bisnis; Universitas Mercubuana; Mata Kuliah Pajak International; Dosen Pengampu Prof. Dr, Apollo, M.Si.Ak

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kuis 2 Pajak International

19 September 2023   14:00 Diperbarui: 19 September 2023   14:09 86
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Authorized Economic Operator dan Pelaporan Otomatis Pelaksanaan Peraturan Perpajakan

1. Apa itu Authorized Economic Operator?

Authorized Economic Operator (AEO) adalah pihak yang terlibat dalam pergerakan barang internasional dengan fungsi apa pun. Pihak ini telah disetujui oleh/atas nama otoritas kepabeanan karena memenuhi standar WCO atau standar keamanan rantai pasokan. Istilah AEO dalam Bahasa Indonesia disebut sebagai Operator Ekonomi Bersertifikat. Merujuk Pasal 1 PMK 227/2014 operator ekonomi adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pergerakan barang secara internasional dalam fungsi rantai pasokan global. Sementara itu, Operator Ekonomi Bersertifikat (AEO) adalah operator ekonomi yang mendapat pengakuan dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) sehingga mendapatkan perlakuan kepabeanan tertentu. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PMK 227/2014 operator ekonomi yang dapat diakui sebagai AEO meliputi importir, eksportir, PPJK, pengangkut, pengusaha Tempat Penimbunan Sementara, pengusaha Tempat Penimbunan Berikat, atau pihak lain seperti konsolidator dan penyelenggara pos. Untuk memperoleh pengakuan sebagai AEO, operator harus mengajukan permohonan kepada Dirjenl atau pejabat yang ditunjuk menangani AEO. Selain itu, operator ekonomi juga harus memenuhi beberapa persyaratan salah satunya adalah patuh terhadap peraturan kepabeanan dan/atau cukai.

2. Mengapa Authorized Economic Operator penting?

Authorized Economic Operator penting karena jika operator ekonomi ditetapkan sebagai AEO maka kita dapat memperoleh manfaat, diantaranya:

  • Penelitian dokumen dan pemeriksaan fisik yang minimal
  • Prioritas untuk mendapatkan penyederhanaan prosedur kepabeanan
  • Pelayanan khusus apabila terjadi gangguan terhadap pergerakan pasokan logistik serta ancaman
  • Kemudahan pemberitahuan pendahuluan (pre-notification)
  • Dapat menggunakan jaminan perusahaan untuk menjamin seluruh kegiatan di bidang kepabeanan
  • Kemudahan pembayaran atas penyelesaian kewajiban kepabeanan dalam bentuk berkala.
  • Kemudahan pembongkaran dan pemuatan langsung tanpa dilakukan penimbunan
  • Prioritas untuk diikutsertakan dalam program-program baru yang dirintis oleh DJBC
  • Mendapat layanan khusus yang diberikan Client Manager
  • Mendapatkan layanan penyelesaian kepabeanan di luar jam kerja Kantor Pabean.

3. Bagaimana Sejarah Authorized Economic Operator?

Secara ringkas cikal bakal dibentuknya AEO di latar belakangi peristiwa terorisme di Amerika Serikat pada 2001. Peristiwa tersebut memicu pemikiran akan perlunya jaminan atas setiap pergerakan rantai pasokan barang dalam perdagangan internasional.

Kondisi ini pula yang mendorong WCO menerbitkan inisiatif berupa WCO SAFE FoS yang merupakan standardisasi keamanan dan fasilitasi mata rantai pasokan perdagangan internasional. WCO SAFE FoS ditujukan untuk meningkatkan kepastian dan kemudahan pemantauan arus barang.

Pada 2005, Indonesia menandatangani letter of intent WCO SAFE FoS untuk implementasi AEO. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemudian menerbitkan Instruksi Presiden No.1/2010 yang menginstruksikan implementasi AEO dan teknologi informasi untuk mendukung iklim investasi.

Selanjutnya, Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan No.PMK 219/PMK.04/2010. Namun, pemerintah merasa perlu mengatur kembali ketentuan mengenai AEO guna memperluas partisipasi operator ekonomi dalam implementasi AEO.

Untuk itu, pada 2014 Menkeu menetapkan Peraturan Menteri Keuangan No.PMK 227/PMK.04/2014 yang mencabut PMK 219/2010. Pembaruan tersebut juga ditujukan untuk meningkatkan pelayanan dan pengawasan di bidang kepabeanan mendukung efektivitas pelaksanaan AEO.

Ketentuan terperinci mengenai AEO tercantum dalam Pasal 3 dan Pasal 4 UU No.10/1995 st.d.d UU No.17/2006 tentang Kepabeanan, khususnya terkait implementasi pemeriksaan pabean secara selektif, Inpres No.1/2010, PMK 227/2014, dan Peraturan Direktur Jenderal Nomor PER-4/BC/2015.

4. Apakah yang di maksud dengan Pelaporan Otomatis Pelaksanaan Peraturan Perpajakan?

Pelaporan Otomatis Pelaksanaan Peraturan Perpajakan merupakan bentuk kerjasama internasional di bidang pertukaran informasi dalam rangka kepentingan perpajakan, khususnya dalam rangka memitigasi terjadinya penghindaran atau penggelapan pajak dan/atau pencucian uang yang dapat mengakibatkan tereduksinya pungutan pajak di Negara tersebut. Selain itu, juga dimaknai sebagai suatu sistem yang mendukung pertukaran informasi antar wajib pajak antar negara pada waktu tertentu secara periodik, sistematis, dan berkesinambungan dari negara sumber penghasilan (tempat wajib pajak menyimpan kekayaannya) kepada negara tempat tinggal wajib pajak.

5. Mengapa Indonesia mengatur kebijakan Pelaporan Otomatis Pelaksanaan Peraturan Perpajakan?

Hal tersebut sebagaimana tertuang dalam Penjelasan Umum atas Perpu AEoI yang menyatakan bahwa kendala eksternal dari kurang optimalnya penerimaan pajak diantaranya disebabkan karena masih marak terjadi upaya penghindaran pajak ke luar Indonesia oleh wajib pajak. Dengan adanya wilayah-wilayah tax heaven dan belum adanya mekanisme AEoI, akan meningkatkan hambatan dalam pengakumulasian penerimaan pajak di Indonesia yang berdasarkan pada self-assesment system.”(vide Alinea ke-2 Penjelasan UMUM Perpu AEoI).

6. Bagaimana kedudukan Pelaporan Otomatis Pelaksanaan Peraturan Perpajakan dalam Sistem Perpajakan di Indonesia?

pada saat ini, negara menyadari bahwa dengan penerapan selfassessment dalam rangka perhitungan pungutan pajak kepada setiap wajib pajak, menimbulkan sebuah ruang bagi wajib pajak untuk melakukan penghindaran pajak (tax avoidance) yang diantanya dalam bentuk transfer pricing dan/atau pencucian uang. Sehingga dibutuhkan kebijakan AEoI (Automatic Exchange of Information) sebagai instrumen penyeimbang yang diberikan kepada setiap otoritas pajak di setiap negara (termasuk Indonesia) untuk dapat mengakses informasi keuangan wajib pajak untuk tujuan perpajakan.

Dengan cara melakukan breakthrough (pengecualian) terhadap aspek kerahasiaan pada seluruh akun-akun wajib pajaknya di lembaga jasa keuangan, baik dalam lingkup domestik (domestic financial institution) maupun dalam lingkup global (foreign financial institution), sehingga tercipta basis data (database) perpajakan yang lebih akurat dan akuntabel. Pada akhirnya, apabila terdapat informasi bias yang disampaikan oleh wajib pajak yang melakukan penghindaran pajak (tax avoidance) yang diantanya dalam bentuk transfer pricing, maka hal tersebut tetap akan dideteksi dengan adanya database yang lengkap terkait informasi kekayaan wajib pajak tersebut baik yang berada di dalam maupun di luar negeri.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun