Ada dua hal yang dibenci pria ketika diminta pasangannya. Mengantar belanja dan menonton film komedi romantis. Karena ini adalah review film, maka mari kita bahas sedikit hal kedua. Film komedi romantis hadir dengan formula yang selalu sama, dan kaum adam tak sepenuhnya paham mengapa wanita suka sekali dengan pengulangan-pengulangan tema yang cenderung klise. Itu terjadi di 96,13 persen film rom-com. Globally. Sepertinya alur love-hate-love ini selalu menjadi pakem mengamini jalannya cerita: love-hate-love itu sendiri. Tapi seperti halnya film musikal, itu adalah polar yang akan selalu memiliki penggemarnya sendiri. Menguraikan kisah rom-com selalu sama. Maka, film rom-com yang bagus haruslah spoiler-proof. Artinya, ketika kita membaca sinopsisnya sampai tuntas (sebagai catatan, banyak rom-com yang merupakan adaptasi drama tulis), filmnya masih bisa dinikmati. Banyak sisi yang bisa dielaborasi, salah satunya adalah akting. Silver Linings Playbook memenuhi semua kriteria untuk disebut sebagai rom-com. Merupakan cerita adaptasi (novel Matthew Quick), memajang aktor dan aktris good looking, serta mempunyai plot love-hate-love. Sedikit di luar ekspektasi ketika mendapati film ini bertarung sengit melawan film-film yang dibuat untuk Oscar macam film biografi (Lincoln), film bermuatan ekstrinsik tebal (Argo, Zero Dark Thirty), dan semi-arthouse (Life of Pi). Ini mengingatkan pada era ketika Jerry Maguire dan Juno juga berkompetisi di Academy. Silver Linings Playbook mengirim wakil-wakilnya, terutama di 4 ajang prestisus. Lebih sempit, 3 aktor-aktrisnya masuk di bursa apresiasi akting. Bradley Cooper (Pat Solitano Jr) di Best Actor, Jennifer Lawrence (Tiffany Maxwell) di Best Actress, dan Robert De Niro (Pat Solitano Sr) di Best Supporting Actor. Artinya, ada dorongan serius dari sisi akting untuk membuat Silver Linings Playbook menjadi lebih dari sekedar rom-com. Akting ketiganya menghidupkan film yang berkisah tentang penderita bipolar disorder, obsessive compulsive, dan manic depression - aneka penyakit psikis modernitas. Chemistry yang tercipta antar karakternya luar biasa solid, terutama menyangkut Cooper dan Lawrence. Skala epik, perenungan (kontemplasi), dan chemistry penting untuk menimbulkan after-taste dalam sebuah film. Pada sebuah film rom-com, chemistry menjadi satu hal yang sangat vital, karena tidak bisa menawarkan dua hal lain. Maka, keputusan Silver Linings Playbook untuk mengelaborasi chemistry Pat dan Tiffany adalah hal yang sangat tepat. Silver Linings Playbook tak menawarkan twist atau unorthodox rom-com di era kebangkitan penulis seperti Diablo Cody. Seperti statement yang diucapkan film ini kala mengkritik Ernest "Fucking" Hemingway. Film ini spoiler-proof bagi yang ingin membaca sinopsis lengkapnya di Wikipedia, atau membaca novel aslinya sebelum menonton. Plotnya linier, dan formulanya masih rom-com. Tapi divisi akting memberikan after-taste yang masih terasa bahkan setelah filmnya usai. Sama seperti kuliner, itu akan membuat kita selalu ingin bercerita mengenai makanan apa yang barusan disantap. Rasa aneh yang kita dapat usai menyeruput kopi sidikalang kental. After taste. Bagaimana wanita menetralisir rasa ogah pria mengantar mereka belanja? Dengan memberi makan yang enak, sehingga after-taste yang terasa membius dan melupakan keengganan pria. So, para pria, sebelum kalian berkata tidak untuk rom-com, Silver Linings Playbook adalah hidangan menarik dengan bahan berkualitas (J-Law, dude!). Terlebih, it has after-taste.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H