[caption id="attachment_154587" align="alignnone" width="500" caption="Jump ova here, jump ova there... (Foto: Sorethumbz.net)"][/caption] Yang sering amati notes saya mengenai film, tentu familiar dengan kritik pedas yang sering saya kemukakan ke produser terkenal, Jerry Bruckheimer. Gayanya telah menjustifikasi penilaian saya ketika mengapresiasi dua film Transformers. Dan kini, apa ekspektasi untuk "another Bruckheimers", kala Prince of Persia, The Sands of Time rilis? You see, saya bergabung dengan beberapa kritikus film terbaik di negeri ini di sebuah milis. Komentar-komentar mereka yang kritis terhadap sebuah film sangat menentukan ekspektasi sebelum saya mengalaminya sendiri. Kebetulan, domisili saya yang di kota sekunder membuat kesempatan menonton film memang sering tertinggal dibanding mereka yang tinggal di ibukota. Bila film mendapat "angin" di milis, maka ekspektasi naik. Bila "badai" yang dituai, ekspektasi turun dan kadang mengurungkan niat untuk menontonnya. Prince of Persia, yang premir Rabu lalu, ternyata menuai badai di milis. Ini tentu membuat mood saya untuk menonton sedikit turun. Saya juga bukan gamer yang akrab dengan serian gim bikinan Jordan Mechner ini. Ditambah dengan riwayat buruk saya dengan Jerry Bruckheimer, maka ketika Gina mendapatkan tiket untuk film yang dibintangi Jake Gyllenhaal ini saya hanya bisa pasrah, dengan ekspektasi ter-setting di "nothing to lose". Well, setelah dua jam menikmati petualangan Dastan dan Tamina, dengan segala klise Hollywood yang menjadi bahan tesis film Bruckheimer dan Disney, saya sedikit berkesimpulan lain dengan ekspektasi awal. Ternyata saya lumayan menikmati Prince of Persia (PoP)! Verdicts paling masal di milis adalah ketidakpuasan dengan casting Jake Gyllenhaal sebagai Dastan, sang protagonis. Namun setelah menonton filmnya, Jake sebagai Dastan kenapa tidak? Saya pikir Jake cukup bisa nembuat karkaternya jadi unik dan berbeda dari yang lainnya (istilah Inggris-nya: stand among peers), yang kebanyakan bergaya arabesque, dengan brewok, kumis atau janggut. Secara alur, dengan dua jam, film ini jauh lebih bagus daripada Clash of the Titans (ekspektasi awal saya sejujurnya berprasangka bahwa paling PoP tidak akan jauh dari Titans), bila kita mengaca pada konsep summer movies dan kesamaan genrenya. Alurnya cukup mengalir dan tidak membosankan meski lumayan naik turun. Akhir cerita, meski khas Disney yang berdamai, namun masih bisa ditoleransi. Departemen efek yang menjadi fardlu ain Bruckheimer? Menonton visualisasi sang belati waktu beraksi mungkin jadi kojo-nya. Namun cukup impresif juga kala aksi parkour menghias beberapa fragmen film, dan menjadi daya tarik aksi sendiri. Lokasi perkampungan model arab, dengan atap datar memang menjadi favorit adegan macam itu. Coba tengok Bourne Ultimatum. Sebelum menjatuhkan verdict, film ini patut diapresiasi sebagai film Bruckheimer, alih-alih trademark sutradaranya, Mike Newell. Masih panjang, 2 jam, mempunyai efek wow dan adegan klise. So, paradoks formula yang dulu saya bikin waktu me-review Transformers masih dipakai. Namun membandingkan dengan Transformers mungkin bukan apple to apple. Kali ini, standar preseden formulasinya mirip dengan Pirates of Carribean, sans karakter yang kuat model Jack Sparrow. Jadi di Prince of Persia, karakternya merata, dan saya pikir itu tidak terlalu buruk lantaran bisa kurangi sisi eksplorasi eksentrisitas guna mampatkan film ke adegan laga. Keira Knightley, di Pirates, digantikan oleh Gemma Arterton. Keduanya sama-sama komoditi Inggris paling top, kala film rilis. Penampilan mereka adalah bagian dari wow effect dari keberpihakan gender ala film Bruckheimer. Gaya aksi Prince of Persia juga masih mengandalkan koreografi chaos, layaknya Pirates. Melihat peperangan dan perkelahian massal seperti menonton koreografi tari memang. Aspek Disney masuk di sini, sehingga Anda bisa mafhum kenapa saya bandingkan Pirates of Carribean dengan Prince of Persia. Lalu, dari beberapa rumusan itu, saya hampir bisa memastikan bahwa bilamana muncul sekuel Prince of Persia, nasibnya tak akan jauh dari Pirates of Carribean. Boredom! Namun, hal yang positif kali ini dari Jerry Bruckheimer ialah tak nampaknya celah sekuel dari film ini. Itu sedikit mengejutkan, karena absennya peluang sekuel bisa diartikan ekspektasi produsernya juga tak terlalu tinggi. So, pun saya yang datang dengan ekspektasi minim namun pada akhirnya terhibur dengan aksi Prince of Persia, The Sands of Time ini. Barangkali setelah beberapa kali mencoba usai Pirates of Carribean jilid pertama, inilah masa dimana saya bisa mengapresiasi film yang diproduseri Jerry Bruckheimer. Disney effect barangkali?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H