[caption id="attachment_129404" align="alignnone" width="500" caption="Opera House dan CBD di latar. View dari laut. (Foto: Helman Taofani)"][/caption] Akhir perjalanan di Sydney ini rencananya adalah sebuah fancy dining di atas Captain Cook Cruise. Jadwal kami adalah jam 5 sore, yang artinya masih terlalu benderang untuk ukuran "dinner". Lepas dari Blue Mountain, kami langsung menuju Circular Quay - melewati distrik kuno yang disebut "The Rocks" yang terletak di seberang Quay. Pemukiman (koloni) awal Sydney dibangun dari distrik ini, yang saat ini kaya dengan Irish Tavern dan museum-museum, plus beberapa butik mewah. Kelihatan menarik untuk dijelajahi, namun waktu menunjukkan pukul 16.45 waktu setempat. Saya mengutuk minimnya detik yang bisa kami eksplorasi di kawasan The Rocks ini. Bayangan kultur punctuality memang senantiasa membayang tiap kami setting itinerari. Untuk orang "bule", kompromi soal ngaret memang tegas. Dalam kasus ini, sesegera mungkin kami harus mencapai dermaga D di Circular Quay, atau ketinggalan "pesiar". Pesiar yang dibayangkan di sini sebetulnya hanya sekedar makan saja, di atas sebuah kapal yang bertolak dari Circular Quay, sedikit keluar menuju Port Jackson, melewati Fort Denison dan berputar mengelilingi Clarke Island sebelum kembali ke Quay. Melihat waterfront yang dibanggakan Sydney sambil bersantap steak sapi Aussie di atas kapal. Saya pribadi kurang begitu "sreg" dengan agenda ini. Selain mahal, dan waktunya yang masih terlampau sore untuk makan, juga tidak banyak vista yang bisa diekskursi lantaran ada barrier air di mana-mana. Wisata kota jelas lebih menarik karena pengalamannya dirasakan langsung. Persentuhan antara indera kami dengan ruang fisik kota. Apalagi kami telah disuguhi dengan preview The Rocks sebelumnya yang semakin membuat saya ingin segera mendarat dan menuntaskan hasrat meruang di Sydney. Kebetulan, dari jam 6 sore (usai "cruise dining") adalah waktu bebas. Malam terakhir di Sydney sebelum esok bertolak ke Jakarta. Satu-satunya yang membuat saya tersenyum bahagia hanyalah kesempatan untuk mendapatkan foto Opera House secara 270 derajat. Rute kapal memang mengitari semenanjung Bennelong sehingga orientasi SOH bisa dinikmati sesuai dengan rancangannya, yakni menghadap laut. Ini membuat kamera saya tak berhenti berderik merekam gambar, dan eventually mengorbankan ruang memori serta konsumi batere. "Ah, ini kan malam terakhir, tak apa dihabiskan di sini...", pikir saya. Sebuah keputusan yang lantas saya sesali. Punctuality di luar negeri memang bisa diandalkan. Sesuai ekspektasi, jam 6 sore kapal telah mendarat lagi di dermaga. Hari masih terang, dan kami memutuskan untuk "cruising" sekali lagi menggunakan kaki. Circular Quay sendiri merupakan tempat yang lumayan luas untuk dijelajahi. Plus ada Museum Seni Kontemporer di sini, selain dok pesiar domestik dan internasional. Plasanya luas dan menjadi melting point warga kota. Sebuah pemandangan yang sangat mengesankan. Hiruk pikuk Sabtu sore di ruang terbuka. Ruang yang menjadi lahan ekspresi bagi banyak orang, termasuk seorang DJ yang menggabungkan musiknya dengan bunyi tiup didgeridoo - disemburkan rekannya yang keturunan Aborigin. Usai jelajah Quay - setelah membolak-balik peta - pesiar kaki diputuskan ke Geroge St. Pilihan untuk ke George St adalah moderasi antara will saya yang ingin mengamati historis Sydney, dan niat belanja Gina yang belum sahih di hari pertama dulu. Alternatifnya adalah ke The Rocks yang akan lebih banyak mengakomodir pilihan saya, atau Kings St yang surga belanja bagi Gina. Destinasi akhirnya terbang ke susur George St, sekaligus balik ke hotel kami, Mercure. Di bentangan George St ini juga nantinya ada beberapa destinasi belanja sekaligus rekam sejarah kota Sydney. Sekedar catatan, George St membentang dari ujung utara The Rocks sampai ke stasiun sentral. Circular Quay berada di simpang blok pertama, atau batas pinggir selatan The Rocks. Dari bawah jalan layang Cahill Express ini "cruise" kami berawal. Sementara hotel yang menjadi destinasi kami berada di seberang stasiun sentral. Ini artinya petualangan dari ujung ke ujung. Sekitar duabelas blok dengan sisa-sisa tenaga di kaki penghujung hari.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H