Mohon tunggu...
Mohammad Helman Taofani
Mohammad Helman Taofani Mohon Tunggu... karyawan swasta -

1982 born, happily married... A devout Pearl Jam fans, love to read, listening to music and watching movies. Write occasionally through my online journal. An avid fan of Italian Football. Going to travel sometime. Willing to travel all around the world. Would like to see the world before I die. Considering to live in another country. Obsessed to master at least five different (international) languange. A proud father of Aksara Asa-Madani.

Selanjutnya

Tutup

Olahraga

Balada Leonardo dan Mafioso Milan

24 Mei 2010   03:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   16:01 319
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

[caption id="attachment_148568" align="alignnone" width="500" caption="Carlo dan Leo, dua korban Silvio. (Foto: Corriere Dello Sport)"][/caption] Carlo Ancelotti adalah sosok yang menjelaskan betul makna "love-hate relationship" bagi suporter Milan. Rezimnya selama 9 tahun memicu gerutu, bila mengaca pada apa yang dihasilkan oleh Sir Alex Ferguson, atau Jose Mourinho misalnya. Hanya dengan satu buah trofi lokal sepanjang 9 tahun? Namun suporter juga tidak bisa berkata banyak bila dihadang dengan pencapaian 2 trofi kontinental. Ini adalah capaian yang bahkan Fergie atau Mou masih susah mendapatkannya. Lalu, ketika Carletto pergi, bulan ini tahun lalu, reaksi suporter Milan terbagi menjadi dua bagian. Di satu sisi, mereka menikmati dominasi sebagai tim besar di Eropa di bawah Carletto. Sisi lain mengatakan bahwa Carletto terlalu lama berkendali, sampai timnya tak pernah berubah. Beberapa menyebut Milan adalah skuad yang membosankan dan tua. Datanglah Leonardo dari antah berantah. Reputasinya sebagai pemandu bakat tak diragukan lagi, ketika ia berhasil menciduk dua superstar Brasil dalam diri Kaka dan Pato ke Milan. Tapi bakatnya sebagai pelatih masih tanda tanya. Apakah Silvio Berlusconi mengharap Guardiola Effect dengan menunjuk pelatih tak berpengalaman untuk menangani tim sebesar Milan? Kebetulan, rival juga tengah melakukannya dengan menunjuk Ciro Ferrara sebagai pelatih. Awal musim, orang barat bilang "disastrous". Tak pernah menang dalam beberapa pertandingan, dan skema permainan yang berantakan - sepeninggal Carletto, Kaka dan kepemimpinan Maldini - adalah hasil yang menjadi jawaban mimpi buruk suporter tentang apa yang akan terjadi pada tim kesayangan mereka di musim baru. Kulminasinya mungkin adalah hancurnya Milan oleh rival abadi, Internazionale 0-4 tatkala bermain kandang. Ini memicu ditariknya dukungan dari duet presidensial, Berlusconi dan capo regime-nya, Adriano Galliani, terhadap Leonardo - sosok yang mereka pikir mesias, pembawa efek Guardiola layaknya Barcelona. Titik balik kemudian terjadi, bersamaan dengan makin menyatunya Leonardo dengan roster. Kini ia bisa memilih Luca Antonini dan Ignazio Abate sebagai duet bek sayap, menggusur kemapanan Luca Zambrotta dan Marek Jankulovski. Lalu mencadangkan Gennaro Gattuso untuk lebih memilih Massimo Ambrosini yang selama rezim Ancelotti menjadi "puppet captain", yakni deputi kapten yang jarang bermain. Analog mungkin dengan Manuel Sanchis, yang harus bersaing dengan Fernando Hierro di Madrid pra-galacticos. Di depan, Leo juga bisa "menyulap" kembali Ronaldinho menjadi lebih berguna. Sesuatu yang tak mampu dilakukan Ancelotti, disamping faktor Kaka. Milan membalik kemujuran dengan dua kemenangan beruntun atas Roma dan Real Madrid. Yang terakhir dilakukan di kandang lawan. Itu menjadi moral boost, lantaran laga berikut di Liga Italia disapu oleh Milan, sampai mereka menipiskan jarak menjadi satu poin dengan pimpinan klasemen Inter, pada Februari 2010! Momen itu juga membalik dukungan dari duet presidensial, yang seolah ingin membuktikan insting mereka tatkala menunjuk Leo sebagai taktisian Milan. Namun, memasuki Maret harapan Milan untuk menyalip Inter makin pudar, dengan beberapa rangkaian kekalahan. Kekalahan agregat 2-7 dari Manchester United di Liga Champions juga menjadi sinyal macetnya mesin Milan. Tak hanya makin jauh, Milan juga harus rela di-overtake oleh Roma dengan turun ke strap ketiga. Kurva kepercayaan presiden menjadi huruf V-terbalik, ketika Berlusconi mulai mengeluarkan fatwanya sebagai seorang Don. Ini juga diungkapkannya jelang Carlo Ancelotti mundur. Maka, nasib Leo di Milan juga mulai diprediksi bakal serupa dengan Carlo, kala sampai musim berakhir, posisi Milan terpaku di peringkat tiga. Serupa maksudnya, Milan tak cukup berani untuk memecat - karena secara prestasi mereka mendapatkan raihan yang lumayan. Leonardo, sama seperti Carletto, memutuskan untuk mengundurkan diri saat partai terakhir dimainkan. Dan mundurnya Leonardo dirayakan dengan oarade hujatan untuk Berlusconi, dimana hampir semua banner yang dibawa menyatakan apresiasi terhadap kerja Leo. Suporter yang realistis melihat bahwa dengan skuad yang kembang-kempis, Leonardo masih mendapatkan hasil yang lumayan dengan menjamin penampilan Milan di Liga Champions musim depan. Milan menjual Kaka dengan harga fantastis, namun uangnya menguap dan gagal mendapatkan incaran-incaran mereka lantaran tawarannya tak lebih megah daripada katalog klub semenjana. Dugaan korupsi memang menyeruak sejak beberapa tahun lalu. Itu utama mengemuka ketika Milan berhasil menjuarai Liga Champions terakhir kali di bawah Ancelotti, tahun 2007. Musim berikutnya Milan gagal total, finish di urutan 3 dengan Inter yang sangat dominan. Tak ada pembelian atau upaya perkuatan skuad, yang waktu itu ditengara suporter sebagai salah Ancelotti yang terlalu percaya kepada skuadnya. Namun jelang kepergian Ancelotti, di awal tahun 2009, ada satu titik terang mengenai mismanajerial yang dilakukan Berlusconi dan Galliani. Isu penjualan Kaka ke Manchester City mencuat, dengan motivasi uang minyak dari si nomer 22 akan digunakan untuk menutup utang. Meski untuk sementara batal, dengan sandiwara payah Berlusconi seolah ia selamatkan Milan dengan mencegah Kaka, namun suporter mulai mencium "bau busuk". Leonardo, awalnya dianggap suporter sebagai nods dari Berlusconi, dalam istilah Orba dikenal sebagai kroni. Tapi suporter, dan mungkin Berlusconi sendiri kaget kala di akhir Februari Leo sudah merencanakan 5 butir reformasi. Dua di antaranya adalah menggoyang "status quo" yang turut melengserkan Ancelotti: perencanaan total kampanye Milan (jangka pendek dan panjang) dan memberi semangat emansipasi kepada semua pemain. Ini artinya langganan lineup menahun yang tak sebanding dengan kontribusi bakal didepak. Indikasi itu sontak membuat hubungan Leo dan Berlusconi beserta capi-nya memburuk hebat. Wacana untuk menyalib Leo kemudian muncul, yang seolah diamini takdir ketika Milan bermain lembek dengan rangkaian hasil buruk yang melambungkan Roma dan Inter sebagai penantang scudetto. Well, sejarah Leo telah ditulisnya sendiri kala ia "mengkritik" sang Don. Dalam hukum mafia, hal itu sangat diharamkan. Tapi reputasi Leo di mata suporter lantas menaik. Karena kasus ini, sekali lagi, menunjukkan angin penguat bagi asumsi suporter bahwa ada yang tak beres di tubuh Milan. Ini linier dengan apa yang terjadi musim lalu. Akhir musim lalu, Carletto meminta pengunduran dirinya, setelah presiden berulangkali mengkritik taktik dan pilihannya (yang tak memainkan Ronaldinho). Kemudian Kaka dijual ke Real Madrid dalam kuota uang yang besar, yang mungkin rencana ini telah diketahui Carletto jauh sebelum niatnya mundur. Musim berikutnya tak terlihat upaya perbaikan. Leonardo diberi skuad seken, yang ditinggal beberapa suku cadang utamanya, dengan beban prestasi untuk meneruskan reigning power yang dibawa Ancelotti. Di akhir musim pertamanya, Leonardo bisa memenuhi tuntutan tersebut. Di awal musim, tak ada yang berani menuntut Leo untuk finish di strap pertama Liga Italia. Inter menyuntik diri mereka dengan investasi hebat. Juventus tampak serius, dan Fiorentina berhasil menjaga bintang baru mereka. Namun musim ini berjalan dengan Inter tak sedominan sebelumnya (meski menang dua kali atas Milan), Juventus dan Fiorentina sangat payah, dan Milan menerobos papan atas walau ada kalanya mereka bermain dengan Massimo Oddo sebagai bek sentral. Namun di sisi lain, hasrat untuk menyaksikan Milan di papan atas masih terpenuhi. Tapi itu mungkin tak sejalan dengan agenda presiden. Mungkin, sama seperti Carletto, Leo merasa ia tak bisa bekerja maksimal bila kewenangannya sebagai pelatih sangat terbatas, sementara tuntutannya tak berbatas. Situs Football Italia menulis bahwa Milan melakukan setback. Apa yang mereka lakukan di akhir musim ini sama persis dengan di musim lalu. Tahun depan, ada pelatih baru lagi - antara Fillipo Galli atau Massimiliano Allegri. Dua-duanya mungkin dipertimbangkan karena bisa berperan sebagai nods Berlusconi. Jadi, situs yang sama juga masih memprediksi bahwa Milan di musim mendatang tak jauh beranjak dari kondisi sekarang, syukur-syukur masih sama. Leonardo kini pergi, dan mengundang sejuta reaksi. Tapi berbeda dengan musim lalu, kala sebagian suporter masih melihat dengan dipangkasnya Carletto artinya ada harapan perubahan. Musim depan, semua suporter Milan rasanya sudah apatis, bahwa kondisi ini akan terus berputar dalam sebuah lingkaran hitam nihilisme. Simbolnya? Partai terakhir Milan lawan Juventus di San Siro adalah bukti sahih gelombang protes ke presiden dalam rangkaian chant dan banner. Suporter Milan tentu menunggu adanya direksi dan kepemilikan baru sebagai satu-satunya solusi. Addio Leo. Resterai sempre nei nostri cuori.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun