Setelah perpindahan tangan akhirnya nasib patung Toapokong tersebut sudah dikembalikan oleh seseorang yang peduli dengan keberlangsungan kebudayaan, namun tidak dengan kitab kain merahnya. Kain merah yang berada dibawah patung Toapekong tersebut ditulis tangan, masih menggunakan aksara Tionghoa yang menceritakan bagaimana proses pembangunan dari kelenteng Toapekong ini dan belum sempat disalin.
Sehingga sejarah dan cerita mengenai kelenteng Toapekong menjadi buta, bangunan awal kelenteng tersebut hanya bangunan utama yang berisi patung Toapekong. Untuk bangunan disekitarnya merupakan bangunan tambahan baru, termasuk patung Dewi Kwam Im di samping Kelenteng.
Dalam perkembangnnya kemudian ditunjuk beberapa orang untuk mengurus Kelenteng, mulai dari Koh Kim Hyung turun temurun sampai Koh Ayie yang kemudian membentuk Yayasan Kelenteng Sijuk Peduli Bersama, menurut penuturan Koh Ayie "pengurusan Kelenteng tersebut awalnya dilakukan secara turun temurun oleh mertua beliau, namun karena keterbatasan lokasi jangkauan sehingga kepengurusan dari Kelenteng tersebut diserahkan kepada Masyarakat Sijuk."
Sijuk dikenal sebagai kota pertama di Belitong sebelum Tanjung Pandan, di sekitar kelenteng tua Sjuk tersebut pernah berdiri kampung-kampung orang Tionghoa bermarga Liu.Â
Menurut penuturan Koh Ayie "Terdapat tabu pada masa sebelum agama Konghucu diakui oleh negara, karena pada masa itu diskriminasi terhadap orang-orang Tionghoa sangat besar. Kebebasan ruang gerak mereka dibatasi, sehingga untuk melakukan penelitian, penerjemahan hingga menulis ulang isi dari naskah kuno yang terbalut kain merah dibawah patung Toapekong pun sulit. Cerita mengenai kisah kain merah tersebut beredar dan diabadikan dari mulut ke mulut saja, karena semua aksara mandarin atau hal-hal berbau Cina lainnya dilarang jika ada yang melanggar akan ditangkap dan dipenjara."
Peristiwa itu semua terjadi di bawah tahun 1980 baru menginjak tahun 1990 di bawah kepemimpinan Gus Dur kebebasan serta toleransi mulai digaungkan, dalam sistem pengorganisasian kepengurusan kelenteng tua Sijuk dari awal pendirian masih dilakukan secara turun temurun. Belum ada sistem pencatatan resmi dan rapi karena sistemnya hanya asal tunjuk saja, namun seiring dengan perkembangan jaman dan toleransi antar beragama. Sehingga sistem organisasi dari kelenteng tua ini baru tercatat secara resmi ketika masa peralihan tahun 1980 pasca kerusuhan.
Hampir rata-rata kelenteng di Belitong diperuntukan kepada Toapekong sebagai dewa pelindung, pembawa rezeki, dan keberuntungan. Itu berpengaruh juga dengan masuknya orang-orang Tionghoa Khek atau Hakka ke Belitung, mereka yang berasal dari Provinsi Guangzho datang ke Belitong untuk bekerja sebagai penambang timah pada abad ke-17 sampai 18. Mereka sebagai penambang memuja Toapekong untuk mendapatkan keberlimpahan hasil tambang, serta kekayaan bumi yang tiada habisnya dalam penepatannya dalam kelenteng biasanya patung Toapekong akan berdampingan dengan Dewa Tanah Tu Ti Pak Kung. Status kelenteng tersebut sudah masuk menjadi bangunan cagar budaya, dengan nama kelenteng Hok Tek Ceng Sin atau lebih umum dikenal sebagai Kelenteng Tua Sijuk.