Mata saya berlarian ke kanan dan kiri berusaha mencari sebuah bangunan. Pagi itu, saya ditemani oleh Mas Anton, driver online asli Jogja yang juga asing dengan kawasan yang berada tujuh kilometer ke arah selatan dari pusat kota Jogja ini. "Mbaknya sudah ingat (daerah ini)?" tanya mas Anton. Saya menggeleng.Â
Hari menjelang tengah malam ketika saya berkunjung ke bangunan tersebut enam bulan yang lalu, untuk pertama kalinya. Lima menit dari gapura merah bertuliskan "Desa Wisata Kasongan", kami seharusnya sudah tiba di lokasi. Namun nyatanya hingga sepuluh menit, kami masih menyusuri gang kecil di Dusun Gesik ini.Â
"Di sana, Mas!" saya mendadak menepuk pundak Mas Anton begitu melihat sebuah bangunan bak kastil yang berdinding batu. Tepat di depan bangunan inilah homestay yang saya cari sedari tadi.
Saya berdiri di depan sebuah "gubuk" yang tiangnya terbuat dari bambu dan dikelilingi oleh pipa hidroponik. Di atasnya digantung sebuah papan hijau bertuliskan "Filistay Filitour" dengan tinta merah.
Gubuk ini tampak asri dengan pohon Bambu dan Kersen di sampingnya. Ada sepeda dan empat sepeda motor yang terparkir saat saya melangkah menuju halaman. Berjalan agak ke dalam, saya disambut oleh Mbak Dewi dan patung budha yang tersenyum hangat di depan pintu rumah.
Mbak Dewi, pemilik Filistay, mengajak saya berbelok ke sisi kanan pintu rumahnya. Ia membuka pintu kayu mungil berpagar bambu. Saya baru sadar bahwa pintu tadi menjadi pembatas antara rumah dan homestay-nya. Di balik pintu, detail sederhana dari ruangan terbuka itu memukau saya.
Kami duduk di "gubuk" yang saya lihat dari luar tadi. Desain ruangan ini masih sama seperti enam bulan lalu. Ada dua bathtub bekas di sana. Mereka menyulapnya menjadi kursi yang sedang saya duduki dan satu lagi disulap menjadi meja sekaligus berfungsi sebagai akuarium. Sungguh lucu sekali perabotan ini!
Di sisi lain, kerap kali mereka menemui tetangganya yang membuang sampahnya ke sungai. Siapa yang tidak miris melihat hal tersebut?
Berbekal pengalaman hidup minim sampah yang dilakukan sejak 2008, Mas Josh dan Mbak Dewi pun mulai mendirikan bank sampah di sini. Tujuannya hanya satu: agar tidak ada lagi yang membuang sampah ke sungai. Para ibu PKK pun menjadi target utama dari inisiatif Mbak Dewi.
"Dulu saya datang sendiri ke pengepul, mencatat harga sampah, lalu menginformasikannya ke ibu-ibu PKK. Dengan dalih sampah bisa menjadi duit, ibu-ibu di sini mulai rajin memilah sampah untuk dijual ke pengepul", lanjut Mbak Dewi.