Layaknya bukan warga Jakarta, saya hanya tau Jakarta dari pemberitaan media saja tanpa bisa mencek kebenaran berita tersebut. Sedikit mengikuti perkembangan berita akhirnya jadilah saya tergelitik untuk menulis artikel ini. Setelah Dera Anggraini, kembali pemegang Kartu Jakarta Sehat (KJS) Ana Mudrika meninggal setelah terlunta-lunta mencari fasilitas kesehatan. Kejadian ini tentulah menambah berat beban pemerintahan Jokohok. Idealnya KJS dibuat agar penduduk Jakarta terlayani kebutuhan kesehatannya malah realitanya banyak kejadian-kejadian diluar rencana (?)
Terlepas pro dan kontra terhadap program KJS, yang katanya termasuk program 100 hari Jokohok, saya akan membawa pembaca untuk mulai bijak dalam menilai, menimbang dan seterusnya. Dengan mengandalkan mbah google, dimulailah searching KJS. Beginilah hasil dan kesimpulannya:
1. Saya mulai dari sisi birokrasinya, KJS lahir dan mulai diluncurkan pertengahan November 2012 atau kurang dari sebulan setelah Jokohok dilantik. Dari capaian kinerja, menurut saya ini sungguh..sungguh ruaarrrr biasa. KJS katanya berbeda dengan Jamkesda terutama karena KJS sudah terkomputerisasi, online, bisa merecord riwayat penyakit penggunanya, dan sebagainya. Namun, berdasarkan sedikit pengetahuan, saya mempertanyakan kenapa bisa program KJS ini lahir pada tahun 2012? Pertanyaan ini tentulah tidak aneh dan bukan tidak berdasar, dari berita yang saya baca (hasil googling tentunya), Perda Perubahan APBD Pemprov DKI sudah ketok palu pada bulan Agustus 2012, mempertimbangkan tenggat dan proses evaluasi sebuah Perda, minimal 1 (satu) bulan setelah ketok palu jadilah Perda P-APBD 2012 berikut peraturan gubernurnya, sehingga paling tidak pada bulan September 2012 Perda P-APBD sudah final tidak bisa direvisi lagi. Apa arti uraian penanggalan-penanggalan tersebut? Artinya hingga berakhirnya TA 2012, Jokohok hanya bisa menjalankan program dan kegiatan yang telah di-Perda-kan pemerintahan Foke karena bulan Agustus dan September masih dipimpin oleh Foke.
Salahkah KJS lahir? Jika KJS memang masuk dalam program dan kegiatan yang sudah disahkan pemerintahan Foke tentu tidak salah tapi jika ternyata KJS tidak masuk dalam program dan kegiatan P-APBD 2012 maka secara hukum, program dan kegiatan ini perlu dipertanyakan.
2. Kemudian mari kita lihat dari segi perencanaan dan penganggaran, menunjang atau menjamin satu orang masyarakat tentu akan menimbulkan konsekuensi-konsekuensi atas jaminan tersebut. Ada biaya yang akan keluar dari kantong pemerintah, dimana biaya tersebut adalah menu yang harus disajikan dalam daftar menu bernama APBD. Tidak ada belanja pemerintah yang bisa dikeluarkan dari kas daerah tanpa terlebih dahulu dianggarkan dalam APBD (kecuali untuk belanja tidak terduga dan ini hanya untuk kejadian yang sifatnya luar biasa seperti bencana alam).
Mari kita berandai-andai, jika Foke tidak menampung kegiatan KJS dalam P-APBD 2012, dari mana Jokohok menyelenggarakan kegiatan KJS? Saya bisa membayangkan betapa kalang kabutnya para teknokrat yang tergabung dalam Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD) untuk menampung keinginan JokoHok (terutama Hoknya) dan mencari berbagai kekuatan hukum untuk menyelipkan KJS pada P-APBD 2012. Kemungkinan perencanaan dan penganggaran yang cacat hukum atas lahirnya KJS sangatlah besar. Tidak hanya kemungkinan cacat hukum, tapi kematangan dari sebuah perencanaan juga perlu dipertanyakan. Apakah dalam waktu kurang dari sebulan, tim Jokohok sudah mengkaji kebutuhan fasilitas kesehatan, kebutuhan tenaga medis, software penunjang online sistem KJS, dsb untuk sejumlah tertentu KJS yang diterbitkan? Jika datanya akurat dan hitung-hitungannya tepat, tentu membludaknya pasien KJS tidak membuat kewalahan paramedis di DKI karena semua sudah dalam "estimasi".
Sekarang muncul wacana puskesmas 24 jam, jika tetap dengan jumlah tenaga medis sebanyak biasanya, Jokohok secara pasti ingin memusnahkan penduduk DKI, karena sebelumnya secara tidak sengaja telah membunuh tenaga medis (hehehe). Agar tenaga medis tidak tewas karena kurang waktu istirahat dalam menjalankan tugasnya maka perlu penambahan jumlah tenaga medis, konsekuensinya pemerintah DKI harus menambah belanja pegawai (jlimetnya menghitung angka-angka dan efek domino dari sebuah kebijakan memang tak segampang menghasilkan sebuah ide tho :D).
3. Dari sisi modal sosial (budaya masyarakat yang bernilai positif), saya memandang program gratisan tidak selalu baik karena tidak ada makan siang yang gratis tho. Gratisan membuat masyarakat terlena dan manja. Bayangkan, untuk kesehatan pun masih mengharapkan uluran tangan orang lain (disini pemerintah) apalagi untuk mengupayakan pendidikan dan kesejahteraan bagi keluarganya. Dulu saya termasuk orang yang paling "gatel" bersedekah, sampai suatu ketika saya membaca dan menyimpulkan bahwa dalam agama (Islam) kita memang sangat dianjurkan bersedekah, berzakat, berinfak, dsb namun Allah lebih menyukai tangan yang diatas dibandingkan tangan yang dibawah. Jika akhirnya meminta-minta dijadikan profesi bukan untuk mencukupkan kebutuhan maka sebaiknya kita menghentikan sedekah kepada orang tsb. Islam mengajarkan kita untuk BERUSAHA seolah-olah kita akan hidup seribu tahun lagi, Islam mengajarkan seorang laki-laki bertanggungjawab terhadap kehidupan keluarganya dan Islam juga MELARANG seorang laki-laki baligh untuk menikah jika belum mampu untuk menikah (maaf jika pembahasannya jadi melebar kemana-mana, tapi ini menunjukkan bahwa dalam kehidupan, apapun bentuknya, agama tidak bisa dipisah-pisahkan seperti ajaran sekuler hehehe...).
Kembali lagi kepada program gratisan, saya jadi ingat cerita dosen saya, ada seorang penumpang becak, menawar tarif becak sangat minim sekali, namun sepinya tumpangan si tukang becak akhirnya deal dengan tarif Rp. 2.000. Sesampainya dipertigaan padat kendaraan, abang becak membawa becaknya tetap sembrono dan secara spontan penumpang teriak agar hati-hati, apa jawaban si abang becak? "dua ribu kok minta slamat" :D
Dari berbagai uraian di atas, saya salut akan komitmen Jokowi dalam mewujudkan program seratus harinya, namun ini perlu jadi pelajaran bagi beliau, mulailah membuat program-program berdasarkan kemampuan, kenali dan petakan kekuatan sebelum bermain-main dengan pisau bernama kebijakan. Untuk menuju Jakarta sehat, KJS bukanlah solusi satu-satunya. Menghimbau dan membudayakan pola hidup sehat jauh lebih penting ketimbang mengobati karena selalu ada paradoks antara kemampuan dan daya tampung pasien pada rumah sakit dengan semakin sedikitnya orang ke rumah sakit karena sedikitnya masyarakat yang sakit.
Untuk masyarakat Jakarta, jangan terlalu mendewakan Jokowi karena ini jadi beban beliau untuk melahirkan kebijakan-kebijakan yang ruarr biasa spektakuler namun ternyata tidak realistis, Jokowi sama dengan kita, manusia biasa yang tidak luput dari kelemahan. Ibarat sebuah rumah, pemimpin hanyalah atap sedangkan fondasi dan bangunannya adalah masyarakat. Jika masyarakatnya kuat maka atap akan berfungsi sebagai pelindung namun bagaimana mungkin atap mampu melindungi jika kita sebagai masyarakat tidak menyediakan fondasi dan bangunan tempat penyangga atap? So...mulailah melakukan perubahan dan kebajikan dari diri sendiri, mulai dari yang kecil, dan mulai dari sekarang..