(Foto: Pemandangan di Desa Binaus)
Saat berada di tempat penelitian yaitu di Desa Binaus, hal inimenjadi salah satu pengalamanmenarik dalam hidup saya, karena bisa mendapatkan banyak pengalaman yang tidak pernah saya dapatkan sebelumnya. Pada bulan Agustus tahun 2013 saya menjadi salah satu anggota peneliti EIFI, Organisasi ini adalah salah satu organisasi penelitian di kampus saya, awal keterlibatan saya pada kegiatan ini karena sedang mangambil Skripsi. Saat akan diadakannya kegiatan ini kami mahasiswa yang melakukan penelitian di Soe-Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), Provinsi Nusa Tenggara Timor (NTT), dilibatkan dan diikutsertakan menjadi anggota TIM pada kegiatan ini. Kegiatan ini berlangsung selama 2 minggu di Desa Binaus Kecamatan Mollo Tengah, Kabupaten TTS. Desa ini menjadi sasaran penelitian kami, karena direncanakan pemerintah setempat menjadi salah satu desa Binaan untuk dijadikan contoh pada desa-desa lain yang ada di Kecamatan Mollo Tengah.
(Anak-anak di desa Binaus, Kecamatan Mollo Tengah)
Saat berada di keluarga Bapak, B., di Desa Binaus, saya begitu senang karena sambutan yang saya terima dari keluarga ini begitu hangat dan mengesankan.Pertama kali berkunjung di keluarga ini, saya merasa dekat dengan anak-anak yang ada. Kembali lagi pada perjumpaan kedua, saat di mana saya baru saja menginjak kaki di pekarangan rumah, anak-anak begitu antusias karena senang dengan kunjungan saya. Salah satu sambutan hangat yang diberikan mereka adalah melalui bahasa. Bahasa yang digunakan simple namun menyentuh hati saya, salah satu contoh adalah pada kata-kata yang dikeluarkan anak-anak ketika saya tiba:
He’ kaka Ellen Nem pe na’, kaka om’ mama sin et’ umek bubu. (Hei lihat kaka Ellen sudah datang, Kaka mari silhkan, ibu dan yang lainnya sedang berada di dalam rumah bulat).
Saya sangat tersentuh karena bahasa yang digunakan mereka saat menyambut kedatangan saya adalah bahasa yang tepat. penggunaan bahasa ini secara tidak langsung menjadi pelajaran barharga bagi saya untuk memilih menggunakan bahasa yang sama seperti mereka yaitu bahasa daerah (dawan). Ketika saya bertanya pada orang tua mereka, sejak kapan mereka bisa berbicara bahasa dawan (Uab meto), Orang Tua mereka menjawab mereka mulai bisa berbicara bahasa dawan sejak mereka sudah mulai belajar berbicara, tetapi anak-anak hanya bisa berbicara bahasa dawan jika berada di rumah saja dan tidak di sekolah dengan alasan takut dimarahi guru.
Hal ini tidak hanya pada keluarga Bapak.B saja, tetapi juga pada keluarga lainnya. Kehidupan anak-anak di Desa Binaus dimulai dari yang masih balita hingga mereka yang sudah remaja begitu indah. Mereka sangat mebudayakan bahasa dawan (uab meto) di lingkungan tempat tinggal mereka, hal ini terlihat saat mereka berbicara dengan teman sebaya atau orang tua. Saya begitu tersentuh dengan didikan orang tua mereka karena salah satu hal yang mereka inginkan dari anak-anaknya adalah harus bisa berbahasa dawan, alasannya mereka tidak mau jika kedepan, anak-anak mereka tidak bisa berbiacara bahasa dawan hanya karena ego mereka yang merasa malu pada orang tua lain yang hanya mengajarkan bahasa Indonesia pada anaknya.
Kehidupan anak-anak di Binaus berbeda dengan kehidupan saya dirumah, saat kecil saya dilarang untuk berbicara menggunakan bahasa dawan. Namun, saat saya masih berusia 5 tahun, saya sudah belajar berbicara menggunakan bahasa dawankarena pengaruh lingkungandari teman-teman bermain saya. Larangan yang ada untungnya tidak terbawa sampai sekarang, justru sebaliknya orang tua saya, baik Ba’i dan Nenek sangat senang jika kami anak-anak serta cucu bisa berbicara bahasa dawan walaupun tinggal jauh dari kampung asal kami.
Kebanggaan tersendiri bagi mereka jika kami bisa berbicara bahasa dawan karena mereka tidak ingin kami melupakan keaslian asal-usul kami sebagai atoin meto (Orang Timor), dengan beberapa ciri khas yang ada salah satunya yaitu berbicara menggunakan uab meto (bahasa dawan/bahasa daerah suku Timor). Salah satu ungkapan dari Ba’i saya adalah: “pandai-pandailah berbicara mengunakan bahasa daerah karena bahasa ini adalah bahasa nenek moyang kita yang menjadi bahasa pertama yang akan kau ajarkan untuk anak-anak Mu ketika kau menjadi seorang Ibu kelak”. Ungkapan ini begitu pekat dan saya tidak pernah lupa sampai kapanpun, karena ungkapan ini menjadi salah satu fondasi yang kuat untuk masa depan anak-anak saya suatu saat nanti.
Penggunaan bahasa daerah yang digunakan anak-anak di desa Binaus dapat menjadi salah satu contoh bagi kita kaum muda, agar kedepan ketika menjadi orang tua, kita mempunyai kebijkan penting dalam membimbing anak kita menjadi seorang anak yang kedepannya, menjadi seseorang yang mampu mengharumkan budayanya di manapun iya berada dengan langkah awal mengajarkan bahasa daerah kepeda mereka. Ketika kita berhasil membimbing anak di lingkungan rumah, maka di lingkungan sekolah pun seorang guru tidak mengalami kesulitan dalam membimbing mereka karena guru dapat membantu anak-anak untuk tetap mencoba mengajarkan dan mengarahkan mereka mengenai giat-giat apa yang perlu dilakukan untuk tetap selalau taat dengan bimbingan kita yang sudah mereka dapatkan dirumah. Anak-anak wajib untuk mengetahui dan mengapilkasikan ajaran bahasa yang didapat dirumah maupun disekolah karena saat anak mampu mengaplikasikan ajaran ini maka terlihat jelas kemampuan mereka untuk tetap membudayakan ajaran bahasanya.
Ketika berada dirumah, sebaiknya kita mengajarkan bagaimana mengungkapkan sesuatu dengan menggunakan bahasa generasi budaya sedangkan disekolah guru mengajarkan anak bagaimana menggunakan bahasa pemersatu yaitu bahasa Indonesia. Melalui ajaran yang sudah anak dapaktkan maka anak mampu melakukan kolaborasi seindah mungkin bagaimana mengungkapkan sesuatu dengan menggunakan ajaran bahasa sesuai tempat dan pada siapa Dia mengatakan hal itu.
Pertanyaannya, mengapa hal ini perlu dilakukan, karena seiring dengan adanya perkembangan, maka bahasa daerah perlu ditingkatkan dalam lingkungan keluarga. Oleh karena sejalan dengan perkembangan maka perlahan-lahan bahasa daerah akan tergeser dengan sedirinya. Hal ini disebabkan orang-orang akan berlomba-lomba untuk mengikuti perkembangan yang ada dengan mempelajari bahasa lain, misalnya bahasa Inggris, jerman, Korea, Mandarin dan bahasa lainnya sesuai dengan perkembangan yang ada, maka secara sadar atau tidak sadar bahasa daerah akan ditinggalkan.
Melihat kondsisi ini maka saya merenung kemabali jika pada kehidupan sekarang anak-anak mulai di ajarkan bahasa daerah maka dengan sendirinya mereka akan mulai memahami bahasa ini hingga menjadi tua nanti. Perlu diingat bawha bahasa merupakan alat komunikasi yang dapat memebantu seseorang untuk menjalin suatu hubungan/relasi dalam meningkatkan relasi menjadi lebih erat.Jika bahasa Indonesia adalah bahasa pemersatu dalam negeri ini. Maka bahasa daerah adalah bahasa pemersatu yang perlu dilestarikan turun temurun dari generasi ke generasi atau sederhananya bahasa daerah perlu dilestarikan ke anak cucu, cece dan seterusnya.
Untuk melestarikannya maka perlu menjadikan bahasa daerah sebagai bahasa pertama yang digunkan sehari-hari dilingkungan rumah. Dengan menjadikannya sebagai bahasa sehari-hari dilingkungan rumah maka hal ini akan menjadi salah satu kebiasaan yang akan bertumbuh turun temurun dari generasi sekarang ke generasi-generasi berikutnya karena bahasa daerah merupakan kekayaan terbesar yang dimilki setiap daerah.
Menutup tulisan ini saya inginmemberikan salah satu kutipan dari status yang pernah saya tulis di Facebook saya 23 Mei 2014 dapat menjadi bahan refleksi bagi kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H