Sebagai seorang ibu rumah tangga tanpa asisten, saya sangat jarang mengikuti berita politik baik di televisi maupun di surat kabar, buat saya cukup asal harga barang-barang tetap stabil, anak-anak mendapat makanan dan pendidikan yang cukup dan saya bisa melanjutkan hobi menulis dengan tenang buat saya sudah merupakan kebahagian tersendiri.
Tapi saat gerakan "Save Risma" bergaung dimana-mana, saya jadi tertarik, apalagi yang menjadi sorotan adalah seorang ibu, yang gebrakannya sangat "Cetar membahana" karena berani menutup beberapa tempat pelacuran di Surabaya, Dolly adalah salah satu yang akan menjadi target akhir untuk menuju Surabaya bebas dari prostitusi.
Pro dan kontra langsung bermunculan, bahkan ada yang mengatakan menutup tempat pelacuran sama saja dengan membiarkan AIDS menyebar luas tanpa kendali, saya geli mendengar pendapat seperti itu, darimana mereka dapat asumsi kalau tempat pelacuran ditutup AIDS merajalela, bukankah selama ini juga tempat prositusi ada AIDS tetap menyebar kemana-mana, lain ceritanya kalau lokalisasinya di sebuah pulau terpencil yang jauh kemana-mana dimana para penikmat dan penjaja seks dilarang pergi meninggalkan pulau tersebut !.
Sebelum melihat acara "Mata Nazwa" saya membayangkan Bu Risma adalah seorang wanita muda dengan gaya glamour mirip salah seorang politisi perempuan terkenal suatu partai yang suaranya lantang berkoar-koar saat membela sesuatu yang menjadi prinsipnya.
Ternyata saya salah, Bu Risma hanyalah sosok seorang ibu yang sederhana, seorang ibu yang ingin kaumnya terbebas dari belenggu yang bernama prostitusi, suatu pekerjaan yang umurnya mungkin setua umur peradaban.
Saya ikut merasakan kepedihan hati Bu Risma saat menceritakan betapa banyak kaum wanita yang terjerat dalam lingkaran prosstitusi yang tak berujung, mereka banyak yang tertipu dan akhirnya terpenjara disana dan tidak mampu keluar dari lingkaran setan tersebut.
Bu Risma dengan naluri keibuannya ingin membebaskan mereka melalui pendekatan dan kasih sayang seorang ibu, ia tidak serta merta ingin menutup lokalisasi dan membiarkan mereka kehilangan mata pencaharian untuk menyambung hidup, tapi Bu Risma ingin menawarkan hidup yang lebih baik dan terhormat dengan membina mereka melalui pelatihan dan menciptakan lapangan pekerjaan pengganti.
Bu Risma memang bukan aeorang ratu atau putri yang bermahkota indah, tapi buat saya Bu Risma telah termahkotai oleh kerudung sederhananya, wajahnya yang nyaris tanpa make up justru menjadi ciri keanggunannya. Buat saya Bu Risma adalah Cinderella walaupun tanpa sepatu kaca.
Melangkahlah terus Bu, jangan patah arang dengan cibiran dan hujatan, kita bisa melihat siapa kawan dan siapa lawan justru saat kita sedang mengalami ujian, Semoga Ibu semakin tegar dalam membasmi Prostitusi dan mengembalikan mereka para wanita yang terjerumus dalam pelacuran kepada fitrahnya sebagai wanita yang terhormat.
Saya akan terus mendukungmu Bu...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H