Mohon tunggu...
Helga Evlin Zendrato
Helga Evlin Zendrato Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pecinta Tinta

Berlarilah yang kuat, setidaknya tetap berjalan.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Angkutan Perkotaan

22 Juli 2024   08:02 Diperbarui: 22 Juli 2024   08:11 33
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Suasana kota yang padat tak cukup waktunya dijelajahi dalam semalam. Butuh rehat yang panjang untuk menikmati perjalanan dari tempat ke tempat. Bertemu sanak keluarga, menikmati kuliner, serta beragam destinasi yang tidak ada habisnnya. Menyongsong tahun ajaran baru dengan rutinitas harian yang tak kunjung berakhir, bermain adalah opsi berhenti sejenak. Tepatnya pada Minggu, 21 Juli 2024 menikmati transportasi umum dengan tarif 2 ribu dari stasiun KRL sampai tiba di alun-alun Cibodas.

Suasana alun-alun pada pagi pukul 8.15 ramai, beberapa masyarakat mengitar rumput sintetis secara repetitif, ada juga yang berjualan, ada juga yang menjelajah makanan yang dipasarkan di sekitar alun-alun. Sangat ramai, ruang terbuka itu menerima semua pengunjung tanpa adanya tarif tiket masuk untuk sekadar bertemu dengan manusia-manusia yang lain. Lantas, jam operasionalnya juga ditentukan oleh masing-masing pendatang. 


Yang menarik adalah di lokasi yang sama, anak-anak serta orang dewasa menanti kehadiran  bus bertarif ekonomis untuk mengantarkan keliling Perum ke Batu Ceper. Wajah gelisah dan mematung lama tergambar jelas di sepanjang sisi jalan. 

Semua orang berbaris menanti giliran untuk naik menikmati transportasi dengan fasilitas yang perlu dibenahi. Para warga dengan semangat bergairah menantikan hadirnya bus dari pertigaan jalan. Sesampainya di tempat tujuan, sopir yang sedang berjuang menunjukkan ekspresi gugup. Beliau berujar "harusnya motor tak diparkir di situ. Tapi, ya kalo gini mesti muter dulu jadi macet". Semua orang yang berada di dalam bus membisu, tanda perhentian bus itu tidak digubris oleh pengunjung alun-alun.


Transportasi beroda dua terparkir rapi menghalangi jalur perhentian bus. Tukang parkir mempersilahkan bahkan mengatur kendaraan roda dua masuk serta keluar dengan jasa yang seikhlasnya, minimal 2 ribulah. Mengapa perlu disediakan pemberhentian khusus atau jalur untuk trasportasi umum? 

Apakah para pengunjung alun-alun dengan kendaraan beroda dua tidak menemukan tanda yang jelas untuk pemberhentian angkutan umum? Bagaimana jika fasilitas layanan umum dihalangi oleh kepentingan pribadi para pengunjung di area umum? Apakah perlu edukasi etika bersikap di ruang publik?

Banyak hal bisa dipertanyakan, sesederhana itu sebenarnya. 

Sopir kemudian melanjutkan, "Yang turun ditahan dulu kita puter balik dulu ya, ditahan dulu puter balik dulu, ditahan dulu ya"

Orang-orang tak sabar memasuki ruang terbuka itu. Yang naik pun tak kalah menyerobot.

Pak sopir yang penuh dengan kesabaran memberikan instruksi "Yang turun dulu ya.. " diulangnya berkali-kali. Kemacetan di jalan raya tak terbendung klakson bersahutan satu per satu menanti bus telentang di jalanan. Tidak lama, tapi cukup menguras emosi.

Lebih dari sepuluh orang yang turun hanya 2-3 ucapan terima kasih terdengar dengan jelas.


Sudahkah kondisinya baik-baik saja? Mengapa transportasi publik perlu etika? Bagaimana seharusnya kita bersikap di ruang publik?

Pihak yang berperan dalam memberikan teladan dan aturan yang jelas disertai saksi atau apresiasi yang seperti apa?

Lakukan yang Perlu di Lakukan

Mengkritisi fenomena membaca tanda di lokasi umum, sudah banyak aturan yang diberikan agar tercipta kesejahterahan semua orang. Sudah saatnya, tanda atau plang yang diberikan menunjukkan peranan. Kegelisahan sopir terkait jalur yang sering digunakan untuk kepentingan pribadi menunjukkan daya laku masyarakat terhadap informasi masih terlalu apatis. 

Akibat jangka panjang, aturan serobot tanpa antrian dilakukan generasi berikutnya. Bukan hanya itu, keteraturan menjadi musuh sehingga pelanggaran tidak lagi menjadi asing. Mulai sekarang lakukan apa yang perlu di lakukan. Tidak saja membaca, tidak saja melihat, perlu untuk bergerak dan melakukannya. 


Bergerak untuk melakukan di mulai dengan peka dengan situasi dan berani berbeda dari yang lain. Kehidupan sosial yang menguras banyak energi sering kali menjadi celah untuk menoleransi kekeliruan dalam ruang publik. Berani berbeda, yang pasti lakukan yang benar. Tidak peduli mereka menghujat atau melihat dengan ekspresi yang aneh karena perlu pergerakan untuk saling menyadarkan.

Terima kasih yang sudah membaca, berharap semoga semuanya segera membaik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun