Mohon tunggu...
Helga Evlin Zendrato
Helga Evlin Zendrato Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pecinta Tinta

Berlarilah yang kuat, setidaknya tetap berjalan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Metamorfosis Hidup

28 Juni 2021   09:00 Diperbarui: 28 Juni 2021   08:59 228
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Seseorang pernah mengatakan bahwa proses lebih penting dari hasil akhir. Sama halnya dengan metamorfosa yang melalui setiap tahap untuk kemudian dipandang sebagai keindahan. Bagaikan kupu-kupu yang terbang mengelilingi padang rumput hijau, menikmati nektar pada bunga-bunga yang indah, dan membebaskan sayapnya untuk dijepret jadi kenangan. Kupu-kupu sebelum menjadi indah selalu melalui masa yang sulit karena dibandingkan dengan ulat. Indahnya masa-masa bermetamorfosis, hanya dengan bertahan dan terus melangkah kita mewujudkan kenyataan.

Pagi ini, ia menghubungiku. Pesannya sederhana, rajin belajar. Aku tidak bisa membalas karena permintaannya berat bagiku. Aku ingin jadi penulis. Kata mereka menulis bisa menjadikan kita abadi. Namun, bagiku menulis adalah bertemunya masa muda di hari tua. Banyak yang tertawa ketika aku menyatakan ingin menjadi penulis. Di negeri ini, penulis harus baca banyak buku. Di neger-negeri lain juga mungkin. Aku hanya sempat menyelesaikan beberapa halaman fiksi setiap bulan. Disela-sela waktu tidurku yang panjang aku menyediakan tiga puluh hingga enam puluh menit untuk membaca. Kadang bacaan itu membuatku frustasi, jengkel, tertawa terbaha-bahak, berbicara sendiri, hingga beberapa menganggapku sakit akal. Tidak ada metode yang ampuh untuk mempertajam tulisan selain menulis. Aku membaca beberapa buku terjemahan, bukannya menambah ide untuk sebuah kosakata. Aku kebingungan untuk memahami arti sebuah kalimat. Semakin aku sering membaca semakin aku sadar banyak hal di dunia yang belum kupahami seutuhnya. Semakin sadar bahwa tidak semua hal bisa kumengerti. Acap kali, butuh rehat untuk berpikir dan memberi rehat untuk istrahat. Jeda yang panjang membuatku sadar banyak hal yang harus kukerjakan untuk bisa mengerti.

Rajin belajar selalu diidentikkan dengan pintar. Sesuai dengan peribahasa yang selalu didengaungkan saat di bangku sekolah dasar, "Rajin pangkal pandai, hemat pangkal kaya". Pintar memiliki ranah yang luas bagiku. Mungkin saja pintar itu adalah keahlian dalam satu bidang yang ditekuni. Bisa juga menjadi mampu dalam mengulas teori. Tidak dipungkiri, pintar itu mengalami perkembangan ke berbagai arah. Ia senantiasa mengingatkan agar aku rajin belajar. Namun, belum ada kepastian untuk belajar yang seperti apa. Belajar bukan mengerjakan tes sampai dapat nilai sempurnakan? Belajar juga bukan menjadi yang utama atau yang pertama. Belajar itu prosesnya. 

Aku tidak hanya menangkap pelajaran melalui buku-buku yang terhimpit di rak-rak coklat. Aku tidak saja belajar dari mesin penelusuran canggih yang tampil dengan audio visual yang memikat. Aku belajar darimu. Aku belajar menjadi seseorang yang mengingatkan dan selalu menuliskan. Aku bisa melupakan banyak hal, tentang belajar di sekolah. Maaf, aku tidak ingat lagi rumus-rumus yang digunakan untuk menghitung berapa detik sebelum sebuah mobil menabrak nenek yang berjalan pakai tongkat. Aku juga tidak ingat lagi bagaimana gula memiliki rumus dalam larutan. Namun, aku ingat bagaimana caramu mengingatkanku.

Kau menggengam batang lidi yang dirajut lalu menghentakkan di atas meja. Kepalaku yang bersender di meja merasakan kejutan yang dahsayat. Hingga aku memandangmu dengan wajah datar, kau membalasnya juga dengan garang. Aku membolak-balik halaman yang kau sebutkan dan meneteskan air mata di atasnya. Kau meninggalkanku. Aku menyesal tertidur selama bicaramu penting untuk didengarkan. 

Aku baru sadar setelah kau duduk di teras rumah. Engkau katakan bahwa aku cerminan dirimu yang dulu. Namun, kau tidak ingin yang buruk itu terulang karena aku melalui proses yang sama. Engkau mengingatkanku untuk bertumbuh pada alam. Bukan dalam bilik-bilik berpagar yang layak disebut sebagai kandang. Engkau mau aku terbang ke alam bebas. Mengepakkan sayapku dan singgah kepada indahnya bunga. Engkau memberitahuku bahwa nektar itu manis sekali pun engkau tak pernah merasakannya. Engkau memberitahuku bahwa alam itu indah meski engkau belum terbang sejauh itu. 

Aku juga ingin memberitahumu di udara angin tidak selalu mendorongku maju ke depan, terkadang aku harus ke kiri, ke kanan, dan mundur. Aku ingin memberitahumu tidak semua nektar itu bisa dinikmati kadang kami terperangkap dan jadi mangsa. Saat aku di udara aku terkadang butuh teduh, hujan tak kunjung mengerti bahwa sayapku rapuh.

Saat nanti, aku sudah menjadi tua. Kubaca tulisan-tulisan ini. Aku ingin tertawa. Sebelum di akhir, dengarkan permintaanku. Aku ingin jadi penulis, bermetamorfosis menjadi deretan huruf yang menjadi cerita utuh dan bisa kau baca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun