Di atas genteng Genui menciat-ciat. Genui belum tebiasa dengan kehidupan di dunia. Ia lebih nyaman beradi di dalam cangkang telur yang dierami induk ayam. Genui masih ingin kehangatan. Meskipun usianya baru beberapa jam yang lalu, ia sudah mampu bernyanyi dengan nada sumbang anak ayam yang baru menetas.Â
"Ayah, aku ingin berhenti sekolah."
"Ada masalah lagi?"
"Bukan begitu, aku tidak suka dengan kegiatan yang monoton. Duduk dan mendengarkan itu sulit ayah."
"Kenapa kamu ga kerjakan latihan soal?"
"Saya udah tidak sanggup lagi ayah"
"Kamu butuh privat?"
"percuma ayah,"
Aku menunjukkan keras kepala yang tidak terbendung dengan kegiatan yang tidak habis-habisnya. Aku berusaha untuk melihat kehidupan dengan perspektif yang berbeda. Di atas langit awan-awan itu menempuh perjalanan yang panjang. Diajak angin untuk berkejar-kejaran, memberi tumpangan pada pelangi, menutup diri saat malam, dan memberi tahuku hujan yang akan turun ke tanah. Awan itu meneduhkan, bermoral yang baik, tetapi ia tidak pernah diajari tentang presipitasi. Namun, ia mampu menjawab siklus air. Ia tidak pernah mengeluh perkara gerahnya mentari, atau bahkan bahkan kekayaan yang melaluinya di dalam burung besi buatan manusia. Aku ingin berdampak, sekuat niatku berhenti untuk ke sekolah.
"Cico, pertimbangkan lagi." Ayah hanya menuturkan sederet kata yang membuatku menatap awan. Bila meneruskan sekolah, biaya yang banyak hanya menyerap keringat ayah menjadi amarah. Otakku sudah maksimal kujalankan. Menghitung logaritma, kosinus, dan akar kuadrat yang tidak pernah menjadi tinta hitam. Aku sudah banyak membuat kerutan di wajah guru di sekolah. Selalu perkara nilai. Sedangkan afektif hanya huruf-huruf yang diberikan tanpa penjabaran alasan yang tepat.Â
Biasanya sikap tidak mempengaruhi kenaikan kelas. Namun, nilai mengubah cara pandang tehadap nama di presensi. Meskipun, namaku ada di presensi no 5, bukan berarti aku adalah urutan ke 5 yang dapat dihafal oleh pengajar. Bagaimana tidak? Aku tidak pernah berubah tempat duduk. Selalu di depan, ini menunjukkan betapa pendeknya tubuhku. Namun, sudah beberapa bulan tidak ada yang mengingat namaku kecuali teman sebangkuku yang juga punya sindrom meninggal karena perhitungan. Kertas-kertas soal selalu saja berisi angka-angka. Meskipun itu pembelajaran bahasa pasti ada angka untuk sebuah huruf.Â