"Ibu selalu menceritakan kepadaku kala engkau kecil hingga bertumbuh menjadi manusia. Tepat seperti kata orang-orang, manusia yang dapat mendirikan bangsanya dengan peluh dan keputusan sendiri."Â
Abu-abu selalu saja menjadi kesulitan untuk mengungkapkan yang sesungguhnya. Aku berdiam di dalam kekosongan yang tidak pernah berhenti menagih janji. Selalu saja sendu.Â
Langit biru hanya tampak meneduhkanku sejenak. Bila kututup diri di dalam ruang terkunci lenyap senyum yang sempat tergores di wajahku.
Bulan Desember bukan tanpa kepastian engkau berjanji. Di atas lembaran putih tertanda tulisan-tulisan manis yang menenangkan sejenak. Ibu menunggu di atas sebuah kursi roda dengan gaun yang dijahit oleh tangan manusia.Â
Ibu selalu menceritakan kepadaku kala engkau kecil hingga bertumbuh menjadi manusia. Tepat seperti kata orang-orang, manusia yang dapat mendirikan bangsanya dengan peluh dan keputusan sendiri. Namun, kata menunggu dan menanti hilang dalam penantian yang tak kunjung hadir.Â
Aku berusaha untuk membujuk ibu memejamkan mata. Bulan sudah tampak sangat terang di langit. Tanpa cahaya matahari. Bintang-bintang hanya sedikit yang bertaburan meskipun begitu aku tak mampu menghitung jumlahnya. Jarum detik berdetak berulang kali.Â
Aku melihat ibu mengusap air mata yang bercucuran di pipinya. Ibu adalah wanita tegar. Meskipun jelas bahwa kehadiranmu nihil ia tetap berharap engkau datang.Â
Kotak surat di depan rumah kembali dihampiri oleh tukang pos. Aku dengan sengaja tidak peduli dengan surat yang baru. Berkali-kali tulisan yang kubaca memberikanku janji yang selalu diingkari. Kali ini, aku tidak mau tertipu lagi.Â
Penantian adalah kesakitan yang terobati dengan hadir. Lihat saja rumah ini, sudah dihuni oleh 7 generasi berganti. Aku generasi ke-7.Â
Ibu selalu mengingatkan untuk menjaga warisan yang diturunkan oleh moyang ke cucu hingga cicitnya cicit. Pasti benda mati ini mengharapkan kelahiranmu. Aku melihat banyak potret hitam putih yang dipajang di bingkai dengan rapi.