Kleptokrasi
Namanya Laurenca Brown. Seorang atheis yang cerdas. Dikutip dari kisah hidupnya. "Saya seperti umumnya orang Amerika yang menganut filosofi orang yang sukses dalam hidup adalah orang yang berhasil mengumupulkan harta benda. Sepanjang hidup saya menghimpun barang-barang duniawi. Itu satu-satunya tujuan hidup yang saya tahu," ujarnya. Selain itu, lanjutnya, hanya aksesoris. Agama, tata krama, etika, moralitas hanya lipstik. Pemikiran materialism seperti ini tidak lagi milik Brown. Virusnya sudah menyebar ke seluruh dunia termasuk ke kampung-kampung kita. Lihatlah pemilihan kepala desa saja kalau Anda tak punya uang jangan coba-coba maju. Meski Anda terkenal bersih, jujur, baik hati dan tidak sombong. Semua itu tidak lagi laku.
Sampai-sampai ada seorang kawan berkata kepada saya. "Siapapun mau jadi Caleg, kepala daerah, kepala desa atau kepala apa saja silakan asalkan jalan kampung ini diaspal. Kami akan pilih sekalipun itu jin ifrit yang mencalonkan diri," ujarnya terkekeh. Pikiran Brown sudah demikian merasuk ke kepala banyak orang. Fenomena ini sebenarnya menular. Ketika banyak anggota dewan, eksekutif dan politisi yang tertangkap karena korupsi membuat kepercayaan jadi luntur. Masing-masing orang lantas jadi pragmatis. "Jika kamu mau saya harus pilih ini pilih itu, saya dapat apa? Toh jika terpilih kalian bakal korupsi juga" ujar seorang teman.
Saya sebenarnya tidak setuju dengan pendapat itu. Namun fakta di lapangan memang menguatkannya. Wakil Ketua KPK Busyro Muqoddas dalam diskusi ‘Caleg dan Pencegahan Korupsi Politik’ di Kantor DPP PPP, Jakarta, beberapa waktu lalu sempat mengungkapkan kekhawatirannya. Banyaknya anggota DPR yang terjerat kasus korupsi, katanya, menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja lembaga tersebut. Bila aksi ‘curi uang rakyat’ itu tak segera diakhiri, kata Busyro, KPK khawatir akan adanya pergeseran sistem ketatanegaraan Indonesia dari negara demokrasi menjadi kleptokrasi.
Sebuah negara disebut kleptokrasi apabila ia diperintah oleh para maling. Hal ini didasarkan pada pemahaman adanya bentuk administrasi publik yang menggunakan uang yang berasal dari publik untuk memperkaya diri sendiri. Administrasi publik semacam itu umumnya tidak jauh dari praktik-praktik kronisme, nepotisme dan makelarisme. Kekhawatiran KPK, nampaknya tidak berlebihan. Deputi Pemberantasan Pusat Pelaporan dan Analisi Transaksi Keungan (PPATK) Wizral Yanuar bilang korupsi di Indonesia ibarat gunung es, hanya kelihatan atasnya saja. Semakin dibongkar korupsi ini semakin banyak. Wizral nampaknya bingung, sehingga ia bertanya apanya yang salah di republik ini.
Jawaban atas kebingungan Wizral, tentu saja bisa macam-macam. Siapa saja bisa menuding siapa saja sebagai biangnya. Rakyat bisa menunding pejabat publik. Pejabat menuding pengusaha yang suka menyogok untuk memerlancar urusannya. Atau menyalahkan rakyat yang juga gemar menerima uang saat Pemilu atau mengambighitamkan gaji yang kecil. Namun, serumit apa pun lingkaran saling menuding, akar pangkalnya toh bisa ditelusuri. Dilihat dari sisi pengelolaan negara, akar pangkal makin liarnya korupsi pastilah bersumber dari Pemerintah. Mengapa? Karena Pemerintahlah penanggung jawab pengelolaan negara. Kasus Gayus Tambunan, wisma atlet Palembang, Hambalang, kasus Djoko Susilo yang diduga telah merugikan Negara sekitar Rp100 miliar, Nazzaruddin, Angelina Sondakh, Anas, Andi Malarangeng, Akil Mochtar adalah contohnya.
Bagaimana hidup di tengah krisis kepecercayaan ini? Kata Ibnu Attaillah Al Iskandari seorang ulama besar masa lalu punya resepnya. "Kita jangan larut di dalamnya. Letakkan kepercayaannya hanya kepada yang Maha mengatur segalanya yakni Allah SWT," ujarnya. Allah SWT memberi kita resep saat kita hidup di tengah krisis kepercayaan antar sesama. Allah Swt menyuruh kita menjaga diri dan keluarga kita dari api neraka. Korupsi adalah api neraka, zina adalah api neraka, curang adalah api neraka, menipu adalah api neraka. Pelakunya mungkin saja lepas dari hukuman dunia karena uang yang dimiliknya. Namun tidak suatu masa yang pasti nanti.
Di akhir cerita Laurence Brown, atheis cerdas, selalu merasa bahwa dia mampu mengendalikan segala sesuatu dalam hidupnya itu menemukan hidayah. Suatu masalah yang tidak mungkin dia atasi memaksa dia memohon pertolongan Allah. Dengan seketika, secara tak masuk akal, masalahnya lenyap seketika. Sejak itu ia resmi meninggalkan paham atheis dan materialism. Jika kita bukan atheis mungkin saja kita materialism. Segera bebaskan diri darinya karena itu bukan tujuan hidup.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H