Saya menangis begitu hebat malam itu sampai bernapas jadi seperti pekerjaan sulit. Tangisan hebat itu mewakili begitu banyak perasaan. Sedih karena dimarahi habis-habisan oleh ayah saya, kesal pada diri sendiri karena tidak langsung menyimpan skripsi di kos, panik karena harus membuat ulang skripsi tersebut. Waktu pembuatannya pun bukan satu bulan seperti yang diberikan kampus, tapi dua minggu. Itulah waktu yang ditetapkah ayah saya.
Karena putus asa, saya sempat meminta pertolongan teman yang punya kemampuan "lebih". Teman itu membantu saya menerawang posisi tas. Sempat terbaca dan kemudian saya bersama teman-teman Sastra berusaha menjebak pelaku.
Nyaris berhasil sebenarnya, tapi dia berhasil lolos.
Merasa tidak mungkin lagi memperoleh kembali tas berisi skripsi tersebut, saya akhirnya memutuskan untuk tidak berharap lagi. Lebih baik mulai menulis. Satu hal yang saya syukuri, Ai (pacar yang sekarang jadi suami) masih menyimpan satu hard copy skripsi, meski yang masih sangat mentah (belum direvisi sama sekali).
Hari-hari selanjutnya saya (dibantu Ai) sibuk mengetik ulang skripsi sambil memperbaiki sana sini. Tidur pun sampai dini hari.
Puji Tuhan, setelah berjuang berhari-hari, akhirnya penulisan ulang skripsi saya selesai. Whohoooo!!!! *drink*
Meski sudah belasan tahun berlalu, saya masih suka bergidik kalau inget tragedi hilangnya skripsi ini. Traumatis.
Pengalaman pertama dan mudah-mudahan tidak akan pernah terulang lagi kapan pun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H