Kebijakan untuk melepaskan sebagian saham Bandara Kualanamu ke tangan perusahan asing asal India GMR Airport Internasional diklaim akan memberikan keuntungan bagi negara. Tampak dalam pemberitaan media, dengan hitungan matematika ekonomi, Arya Sinulingga mewakili implementator kebijakan tersebut mengatakan "Angkasa Pura II mendapat dua keuntungan, yaitu akan memperoleh dana sebesar 1,58 triliun dari investor GMR serta ada pembangunan dan pengembangan Kualanamu sebesar 58 triliun dengan tahap pertama sebesar empat triliun" (m.bisnis.com, 27 November 2021).
Karena itu, negara tidak perlu mengeluarkan uang sebesar 58 triliun untuk pengembangan Bandara Kualananmu, karena proyek pembangunan bandara justru ditanggung oleh mitra. Sehingga dengan keuntungan tersebut, sebagian dananya dapat digunakan untuk pengembangan dan pembangunan bandara baru di Indonesia atau proyek-proyek pembangunan lainnya (amp.suara.com, 26 November 2021). Klaim atas kebijakan tersebut, menurut hemat penulis menandakan bekerjanya nalar market centris dalam sistem ekonomi dan pembangunan di Indonesia.
Sebagaimana pemberitaan media, nalar market centris tersirat dari beberapa argumen kalangan yang mendukung pelepasan saham Bandara Kualanamu ke tangan investor. Bahwasannya, dengan mengoptimalkan aset yang ada dengan cara menjualnya ke pasar (swasta) tentu akan menambah nilai keuntungan yang berlipat-lipat.
Dalam rumusan Arya Sinulingga, pelepasan saham Bandara Kualanamu merupakan upaya memberdayakan aset di tangan investor tanpa kehilangan aset, bahkan asetnya membesar berkali-kali lipat (amp.suara.com, 26 November 2021). Tentu saja, nalar market centris ini bersandar pada nalar lainnya, yakni nalar ekonomi neoliberal yang menempatkan pasar sebagai entitas yang bebas untuk bersaing secara sempurna.
Jamak dikaji oleh para sarjana bahwa praktik ekonomi-politik neoliberal telah menjadi ideologi pembangunan. Di Indonesia jejak ekonomi-politik neoliberal dapat ditelusuri ketika kekuasaan pemerintahan Orde Baru berkuasa.
Soeharto sebagai komando tertinggi memberikan kontrol terhadap sistem pasar dengan mengesahkan Undang-Undang yang pro Investasi (UU No.1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing). Akibatnya proses liberalisasi ekonomi terbuka di bawah moderasi kekuasaan yang terpusat (E.A.Purwanto, 2018).
Krisis demi krisis datang silih berganti bagai gelombang pandemi. Demikian liberalisasi ekonomi kian berlanjut, Indonesia menjadi bergantung pada program dan bantuan pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan seperti IMF, World Bank dan ADB maupun korporasi multinasional (MNC).
Melengkapi pepatah klasik "tidak ada makan siang yang gratis", ada syarat imperatif yang harus dijalankan oleh negara agar program dan bantuan pinjaman dapat diberikan. Syarat-sayarat tersebut berisi tuntutan untuk membuka ekonomi nasional Indonesia melalui proses privatisasi, deregulasi, dan liberalisasi.
Sementara itu, beban utang dan dana pinjaman kian membesar membebani APBN dan semakin sulit diharapkan menjadi stimulus ekonomi dan pembangunan. Keterbatasan anggaran dalam pembiayaan ekonomi dan pembangunan nasional menyebabkan funding gap yang harus disiasati oleh negara.
Pemerintah terpaksa mengikuti pola yang dimainkan dedengkot neoliberal. Misalnya, dengan menjual sebagian aset strategis atau terus menggenjot privatisasi BUMN yang dibalut melalui skema kerjasama dengan pihak swasta atau dikenal sebagai Public Private Partnership (PPP) (Rizky & Majidi, 2008).
Dalam skema ekonomi-politik neoliberal semacam itu, negara berperan seminim mungkin, karena negara dianggap tidak bisa bekerja sempurna pasar, dan tidak memiliki informasi yang mencukupi untuk melakukan kegiatan perekonomian. Peran negara, sebagaimana dikatakan David Harvey (2009) adalah melindungi eksistensi pranata-pranata neoliberalisme, membangun struktur dan fungsi militer, pertahanan keamanan dan hukum yang dibutuhkan untuk mengakselerasi bekerjanya neoliberalisme secara sistemik, jika perlu dengan menggunakan kekuatan koersif (Harvey, 2009).