Keheningan malam merayap di sekitar gedung sekolah yang sepi. Namun, di ruang rapat di lantai atas, tiga sosok bersiap-siap merencanakan sesuatu yang akan mengubah arah perjalanan masa depan.
"Kita harus memastikan bahwa dia yang akan menjadi wakil ketua OSIS," ujar ayahku, wajahnya tegang namun penuh keyakinan.
Paman, yang duduk di seberangnya, mengangguk setuju. "Tapi aturan pencalonan harus diubah. Kita harus membuatnya lebih menguntungkan bagi kita."
Aku duduk di antara mereka, hati berdebar-debar. Tak terbayangkan bagaimana sekolah bisa menjadi tempat persekongkolan ayah dan paman untuk kepentingan ku.
"Mari kita rancang ulang syarat-syarat pencalonan," ucap ayah, mulai mengeluarkan kertas dan pulpen dari tasnya.
Kami mulai menyusun rencana dengan cermat. Ayah, sebagai kepala sekolah, akan menggunakan wewenangnya untuk mengubah aturan pencalonan sesuai keinginan kami. Paman, yang merupakan wakil kepala sekolah, akan memastikan agar rencana tersebut terealisasi tanpa hambatan.
"Syarat utama: kandidat harus memiliki rata-rata nilai minimal 9.0," kata paman sambil menuliskannya di atas kertas.
"Sementara itu, kita akan memastikan bahwa pesaingnya tidak mencapai standar tersebut," tambah ayah dengan senyum penuh kelicikan.
Aku mendengarkan mereka dengan campur aduk perasaan, meskipun aku merasa bersyukur atas dukungan mereka.
Rencana itu terus dipelajari dan diperbaiki hingga larut malam. Setelah segala detail tersusun dengan sempurna, kami saling bertatapan dengan kepuasan.