Mohon tunggu...
helenarenata
helenarenata Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi UNPAR

Mahasiswi UNPAR

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Pentingnya Mengutamakan Putusan Mk Nomor 60/PUU-XII/2024

31 Desember 2024   19:38 Diperbarui: 31 Desember 2024   19:38 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Tagar #KawalPutusanMK sempat menjadi sorotan pada Agustus 2024 setelah munculnya langkah DPR yang dinilai mencoba menganulir Putusan MK Nomor 60/PUU-XII/2024 memicu kemarahan publik. Pada 22 Agustus 2024, DPR mengadakan rapat paripurna yang menghasilkan usulan revisi terhadap UU Pilkada, yang dimana hal ini bertentangan dengan putusan MK. Usulan ini memicu terjadinya banyak demonstrasi di berbagai kota seperti Jakarta, Surabaya, dan Yogyakarta, serta berbagai perbincangan dan perdebatan di berbagai media platform mengenai langkah DPR ini.

Putusan ini sendiri sebenarnya bertujuan untuk mengoreksi diskriminasi terhadap partai politik kecil, tetapi langkah DPR selanjutnya justru malah memunculkan kekhawatiran bahwa demokrasi di Indonesia sedang mengalami ancaman. Pada 20 Agustus 2024, mahkamah konstitusi mengeluarkan putusan nomor 60/PUU-XII/2024 dan seharusnya putusan ini diutamakan, karena putusan ini memperbaiki pelaksanaan demokrasi di Indonesia yang cacat oleh Pasal 40 ayat (3) UU Nomor 10 tahun 2016 yang hanya memungkinkan partai politik yang memiliki kursi di DPRD untuk mencalonkan wakil kepala daerahnya. Aturan tersebut melukai konsep demokrasi dan kesetaraan di Indonesia, karena mengabaikan partai politik yang tidak memiliki kursi di DPR padahal memiliki suara sah dari masyarakat. Pasal 40 ayat (3) UU Nomor 10 Tahun 2016 sendiri awalnya dimaksudkan untuk memastikan stabilitas politik dengan mengutamakan partai besar. Namun, aturan ini justru menciptakan ketidakadilan, karena partai kecil dengan suara sah tidak memiliki hak yang sama. Langkah MK dalam memperbaiki ketimpangan ini sudah tepat, yang berarti memberi kesempatan juga bagi partai politik kecil atau baru untuk dapat bersaing secara adil. Jika aturan lama tetap dipertahankan, maka akan berakibat negatif pada prinsip demokrasi dan keadilan, yaitu berupa diskriminasi terhadap partai kecil, berkurangnya pilinan rakyat, dan ketidakpastian hukum serta kemungkinan pelanggaran konstitusi. Contohnya, seperti Partai Buruh dan Partai Gelora yang sebenarnya memiliki dukungan suara sah dari masyarakat tetapi kehilangan hak untuk mencalonkan pasangan kepala daerah karena tidak memiliki kursi di DPRD.

Dalam Pemilu 2024, Partai Buruh berhasil mengumpulkan lebih dari 1 juta suara sah dari pemilih di seluruh Indonesia. Namun, karena tidak memiliki kursi di DPRD, mereka tidak dapat mencalonkan kepala daerah. Hal yang sama juga dialami oleh Partai Gelora, yang mendapat dukungan signifikan di beberapa daerah tetapi tetap terhalang oleh aturan lama. Kondisi ini menunjukkan bagaimana aturan tersebut mendiskriminasi partai kecil, meskipun mereka memiliki legitimasi yang jelas dari rakyat.

Diskriminasi terhadap partai tanpa kursi di DPRD akan terus berlangsung jika aturan lama tetap diberlakukan, walaupun partai mendapat dukungan dari rakyat. Pasal 40 ayat (3) UU Nomor 10 tahun 2016 hanya mengizinkan partai dengan kursi di DPRD yang dapat mencalonkan kepala daerah, hal ini bertentangan dengan prinsip kesetaraan dalam pasal 27 UUD 1945. Padahal, dengan adanya suara sah yang diperoleh oleh partai dari rakyat sudah menunjukkan kepercayaan rakyat, harusnya hal ini tidak dikesampingkan hanya karena tidak berhasil mendapatkan kursi di DPRD. Maka dari situlah timbul ketimpangan politik yang hanya menguntungkan partai besar saja dan menghambat partai baru atau kecil untuk berkembang. Ketimpangan ini tidak hanya sekedar merugikan partai, tapi juga merusak kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi di Indonesia.

Aturan lama tetap akan membatasi pilihan rakyat dalam pilkada, sehingga demokrasi tidak akan menjadi inklusif. Walaupun sebenarnya ada partai lain yang didukung secara luas oleh rakyat, namun pilihan rakyat akan terbatas pada calon yang diusulkan oleh partai yang mempunyai kursi di DPRD. Demokrasi seharusnya memberikan wadah kepada semua suara rakyat untuk dapat terwakilkan secara adil. Pembatasan pencalonan hanya pada partai tertentu akan menurunkan kualitas pemilu karena aspirasi mayoritas rakyat tidak dipedulikan. Ini bertentangan dengan Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat.

Dengan mengabaikan putusan MK ini, maka ketidakpastian hukum dan potensi pelanggaran konstitusi akan semakin serius, mengingat Mk telah menyatakan bahwa pasal 40 ayat (3) UU Nomor 10 tahun 2016 bertentangan dengan prinsip keadilan dan demokrasi. Putusan Mk itu sifatnya final dan mengikat, dan harusnya dijadikan pedoman dalam menentukan aturan yang adil. Jika hasil rapat DPR lah yang didahulukan dan diberlakukan, partai seperti Gelora dan Buruh mungkin akan mengajukan gugatan baru yang akan memperpanjang lagi proses hukum. Hal ini memperburuk sistem peradilan dan juga melemahkan kepercayaan rakyat terhadap supremasi hukum di Indonesia. 

Sistem demokrasi di Indonesia dapat diperbaiki, salah satunya dengan langkah mengutamakan putusan mahkamah konstitusi ini. Keputusan ini tidak hanya melindungi konstitusi, tetapi juga melindungi hak partai kecil dan orang-orang yang mendukungnya. Untuk mendukung demokrasi yang inklusif dan adil, aturan-aturan diskriminatif seperti pasal 40 ayat (3) memang harus dihapuskan. Dengan begitu, setiap partai politik akan mendapatkan kesempatan yang sama untuk mencalonkan pemimpin daerah berdasarkan dukungan nyata dari masyarakat. Ini adalah bentuk nyata penghormatan prinsip-prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat. Jika demokrasi adalah kedaulatan rakyat, maka semua suara sah harusnya dihargai dan diakui tanpa terkecuali. Putusan MK ini harus menjadi dasar untuk membangun demokrasi yang lebih inklusif, adil, dan bermartabat.

Untuk memastikan demokrasi tetap hidup, masyarakat harus terus mengawal implementasi Putusan MK Nomor 60/PUU-XII/2024. Dukungan publik dapat diwujudkan melalui advokasi di media sosial, partisipasi dalam diskusi publik, atau pengawasan langsung terhadap kebijakan pemerintah. Jika demokrasi adalah cerminan kedaulatan rakyat, maka kita semua memiliki tanggung jawab untuk menjaga agar setiap suara sah dihormati dan tidak dikesampingkan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun