Pada hari Sabtu, 24 Februari 2024, kelompok modul nusantara 13 Reak mengikuti kegiatan refleksi dengan kegiatan nonton bersama salah satu film dokumenter hasil karya mahasiswa FPSD dengan judul " Bebenjangan" .
Tradisi yang dilahirkan oleh manusia merupakan adat istiadat, yakni kebiasaan namun lebih ditekankan kepada kebiasaan yang bersifat supranatural yang meliputi dengan nilai-nilai budaya, norma-norma, hukum dan aturan yang berkaitan. Dan juga tradisi yang ada dalam suatu komunitas merupakan hasil turun temurun dari leluhur atau dari nenek moyang (Darwis, 2022).
Manusia dan budaya memang saling mempengaruhi, baik secara langsung maupun tidak langsung. Pengaruh tersebut dimungkinkan karena kebudayaan merupakan produk dari manusia. Namun, di sisi lain keanekaragaman budaya merupakan ancaman yang besar dan menakutkan bagi pelakunya juga lingkungannya, bahkan tidak hanya individu, kelompok juga bagi bangsanya ( Darwis, 2022).
Bebenjangan merupakan salah satu tradisi yang berkembang di kecamatan Ujungberung, Kabupaten Bandung. Seni Benjang sudah ada sejak akhir abad ke-19. Film dokumenter Bebenjangan yang ditayangkan mengangkat isu yang terjadi dalam ruang lingkup masyarakat dan b\Bebenjangan itu sendiri.
Film diawali dengan pengantar tentang seni Benjang, kegiatan apa saja yang ada di dalam seni Benjang, dan apa tujuan di gelar helaran Benjang itu sendiri, di penghujung pertengahan film mulai ditayangkan cuplikan yang mungkin harusnya diberikan trigger warning yang dapat memicu PTSD ( Post Traumatic Stress Disorder) dan ketidaknyamanan lainnya, karena disini ditampilkan bagaimana seni benjang yang mulai dimanfaatkan oleh pelaku seni untuk melakukan pelecehan kepada wanita, pelaku ini sendiri mengklaim bahwa dirinya tidak bersalah dengan alasan mabuk, kesurupan ataupun tidak sadar, namun harusnya dalam seni Benjang kegiatan meminum anggur atau hal yang dapat memabukkan seperti ini harus dikurangi atau tidak sama sekali. Dikarenakan hal ini, banyak masyarakat mulai beranggapan bahwa seni Benjang adalah seni yang urak-urakan yang menyebabkan pandangan negatif selalu mengelilingi seni Benjang.
Ketika menonton film dokumenter Bebenjangan ini kita bisa merasakan bagaimana point shoot camera yang membuat kita seolah olah ada disana melihat secara langsung bagaimana tradisi Benjang itu sendiri, adegan tiap cuplikan juga mewakilkan dari tiap sudut pandang, jadi tidak membuat kesalahpahaman ataupun memojokkan satu pihak, jadi ini benar-benar film dokumenter terbaik yang pernah saya tonton.
Dari film ini, diharapkan agar seni Benjang ini harus tetap dilestarikan dan oknum yang menyalahgunakan seni ini agar cepat tersadar, jika tidak dilestarikan seni Benjang lama-lama entitasnya akan dilupakan dan membuat salah satu kebudayaan di Indonesia menghilang, disini kita harus meningkatnya kesadaran dan identitas budaya lokal, perubahan tanpa menyalahi orisinalitas budaya daerah, dan menangkal penetrasi budaya asing yang tidak sesuai dengan budaya daerah.
Salah satu cara dalam meningkatkan ketahanan budaya lokal yaitu dengan melakukan inovasi. Grup Benjang Mekar Jaya melakukan beragam inovasi dalam Benjang Gulat yaitu membuat beragam teknik - teknik Benjang Gulat yang belum pernah ada sebelumnya namun teknik tersebut tidak menyalahi aturan permainan Benjang Gulat.
Dalam Benjang Helaran Grup Benjang Mekar Jaya juga melakukan inovasi dengan membuat gerakan-gerakan pemain Benjang Helaran seperti pemain kuda lumping, bangbarongan, babad udan, dan pemain Benjang Helaran lainnya yang lebih atraktif dan lebih menghibur penonton. Untuk mendapatkan gerakan-gerakan atraktif diperlukan tabuhan alat musik yang atraktif pula. Oleh karena itu inovasi juga dilakukan oleh para nayaga dalam memainkan pola tabuhan alat musik pengiring Benjang Helaran. Dalam Topeng Benjang, Sanggar Seni Rengkak Katineung melakukan perubahan dalam bentuk musik, gerak tari atau koreografi, tata letak panggung, dan juga busana. Upaya tersebut berhasil mengubah image seni Topeng Benjang yang awalnya dimainkan dari kampung ke kampung di tengah lapangan menjadi dari panggung ke panggung bahkan dipentas kan di gedung pertunjukan (Mantri 2014).
Penulis: Helena Halim