Mohon tunggu...
Helen Adelina
Helen Adelina Mohon Tunggu... Insinyur - Passionate Learner

Try not to become a man of success, but rather try to become a man of value - Einstein

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Menghalau Gelap Malam

30 Mei 2021   16:25 Diperbarui: 31 Mei 2021   14:58 513
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi orang depresi (pikist.com)

Dulu

Dulu, satu waktu, tawa riangmu menggema di udara
Renyah dan hangat terdengar di telinga
Angin membawanya ke segala arah
Menyebarkan bahagiamu ke segenap penjuru dunia 

Dulu, satu waktu, tarian sukacitamu bergerak mengikuti alunan musik
Tangan dan kaki berirama menghentak bumi
Menyatu dengan gerakan sinar sang mentari
Diiringi alunan desau angin dan gemericik air 

Dulu, satu waktu, nyanyianmu terdengar merdu
Bak suara malaikat yang menyanyikan kidung surgawi
Bersahutan-sautan dengan kicauan burung-burung
Yang terbang membumbung tinggi di udara 

Dulu, satu waktu, kau senang berkumpul bersama dengan orang-orang terkasih
Cinta mengalir laksana air sungai yang menyejukkan
Kehangatan merayap laksana api unggun
Kabahagiaan mengisi relung jiwa

Sekarang

Sekarang, saat ini, tak ada lagi tawa terdengar
Tak ada lagi tarian ditarikan
Tak ada lagi nyanyian dinyanyikan
Tak ada lagi kumpulan orang
Yang ada hanya dirimu seorang

Sekarang, saat ini, kau merasa lemah tak berdaya di peraduanmu
Tak peduli sang mentari menyapa di balik jendela
Jendela tertutup menghalau semua sinar
Lampu-lampu padam tak dinyalakan
Kegelapan melingkupi dirimumu
Cerminan kegelapan yang melingkupi jiwamu

Sekarang, saat ini, lara selalu menghantuimu
Semangatmu hilang bak ditelan bumi
Kelelahan yang tak berkesudahan menghampirimu
Tangisan menjadi teman setiamu
Kehampaan menjadi sekutumu

Sekarang, saat ini, dunia seolah-olah bergerak melambat
Awan hitam pekat mengikuti langkahmu
Tembok-tembok hitam mengurungmu
Kau terjebak tak tahu harus ke mana

Tak ada yang memahamimu
Panah stigma negatif dan tak tahu bersyukur diarahkan padamu
Panah stigma lemah dan tak beriman menusuk tubuhmu
Panah stigma tak ingat Tuhan dilemparkan kepadamu 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun