Mohon tunggu...
Helen Adelina
Helen Adelina Mohon Tunggu... Insinyur - Passionate Learner

Try not to become a man of success, but rather try to become a man of value - Einstein

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Satu Wajah, Banyak Kisah dan Perihal Jatuh Cinta

3 April 2021   11:00 Diperbarui: 3 April 2021   12:07 527
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Ya, aku suka berbicara apa adanya. Sayangnya tidak semua orang di sini bisa menerima. Biasanya kalau laki-laki bicara terus terang, dianggap pemberani, cocok jadi pemimpin.  Tapi kalau perempuan yang bicara terus terang, dianggap lancang, tidak sopan. Ada standar ganda di sini”. Waduh, berat sekali pembicaraanmu, pikirku. Ini semakin meneguhkanku kalau kesan pertamaku tentang dirimu benar adanya.

“Menurutmu, bagaimana seharusnya hubungan laki-laki dan perempuan?”, tanyaku. Kau menjawab bahwa kau lebih setuju dengan pendekatan bahwa laki-laki dan perempuan memiliki hak dan tanggung jawab yang sama dalam urusan rumah tangga. Ini bukan masalah emansipasi. Tapi lebih karena laki-laki dan perempuan sama-sama manusia. Harusnya rasa kemanusiaan itu yang menuntun kita berinteraksi satu sama lain.

“Bagaimana dengan konsep kepemilikan? Maksudku, apakah kau setuju bahwa pasangan kita adalah milik kita dan sebaliknya?”. Kau pun menjawab, “Aku rasa konsep kepemilikan itu adalah ide gila. Setiap orang adalah milik dirinya sendiri. Kalau kau percaya Tuhan, setiap orang adalah milik Tuhannya. Kita tidak pernah memiliki siapapun, entah itu pasangan kita ataupun anak-anak kita. Kita telah salah kaprah tentang konsep kemilikan ini. Dan sayangnya, salah kaprah ini sudah merusak banyak hubungan, entah itu hubungan suami-istri ataupun orang tua dengan anak”. Aku jadi malu. Baru saja aku berpikir seandainya aku bisa memilikimu. Untung kau tidak tahu apa yang kupikirkan.

Tidak terasa sudah lebih dari setengah jam kita berbincang-bincang. Aku masih ingin berbicara denganmu lebih lama lagi. Tapi aku sadar aku telah menyita waktumu terlalu banyak. Setelah meminum teh yang disuguhkan, kau pun berkata “Ada lagi yang ingin Bapak diskusikan?”. Kalau aku berterus terang padamu, tentu saja akan kujawab “Banyak. Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu”. Tapi aku menjawab tidak ada lagi. Kaupun meninggalkan ruanganku dan kembali ke meja kerjamu.

Setelah kau pergi, aku memikirkan pembicaraan kita. Aku berjalan menuju jendela, menatap ke luar. Kupandangi rumah-rumah yang berada di sekitar gedung kantor. Kenderaan berlalu lalang di jalanan tiada henti. Awan yang bergerombol seperti kapas menggantung di langit yang biru. Benarkah kita tidak pernah bisa memiliki seseorang? Pertanyaan ini mengusikku. Aku mengingat kembali hubunganku dengan para mantan pacarku sebelumnya. Banyak masalah terjadi karena satu sama lain merasa berhak atas yang lainnya. Saling menuntut, lalu kemudian saling kecewa. Pertengkaran yang tak ada habisnya. Kisah cinta teman-temanku juga sama tidak beruntungnya. Proses perceraian yang menyakitkan dan lama, membuat dua orang yang dulunya saling mencintai, kini saling bermusuhan. Kedua belah pihak saling membuka aib di depan orang-orang asing yang tidak tahu menahu kisah mereka, seolah-olah apa yang mereka lalui bersama dan cinta yang dulu ada sama sekali tidak berarti. Mungkin kau benar, pikirku. Kepemilikan adalah sebuah ilusi.

Malam itu, di kamar hotel tempatku menginap, aku kembali memikirkanmu. Seandainya kau bersamaku saat ini, cerita apa lagi yang ingin kau sampaikan? Akankah kau bercerita tentang cinta? Tentang kemanusiaan barangkali? Atau tentang remeh-temeh acara di televisi? Ah, sayang sekali besok aku kembali ke Eropa. Sebelum pulang, bisakah aku bertemu denganmu? Alasan apalagi yang harus kubuat? Ah, seandainya semudah itu berterus terang, aku akan meneleponmu saat ini. Aku sudah meminta nomormu siang tadi. Kupandangi nomor selulermu di phone book gawaiku. Apakah aku menekan tombol call? Atau menulis pesan melalui WA? Ah, aku tidak punya keberanian.

Hari ini, aku berada di berada di dalam pesawat. Sebelum mematikan selulerku, aku berpikir untuk mengirimkan pesan padamu bahwa aku senang sekali bertemu denganmu. Aku sangat menikmati waktu bersamamu. Lagi-lagi aku tidak punya keberanian. Cinta akan teruji dengan jarak dan waktu, aku ingat pernah membaca kalimat ini dari sebuah buku. Mungkin kau tidak tahu. Dua kali pertemuan denganmu telah membawaku kembali ke diriku sendiri, apa yang kuyakini tentang hidup, cinta dan hubungan manusia. Aku akan mengingatmu, perempuan yang membawaku kembali pada banyak kisah dan yang membuatku jatuh cinta. Jika nanti seiring waktu, perasaanku padamu tidak berubah, aku akan datang kembali. Saat itu, aku akan datang dengan keberanian untuk mencintai tanpa memiliki.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun