Mohon tunggu...
Helan SiNenda
Helan SiNenda Mohon Tunggu... -

belajar menulis :)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cinta Sehidup Semati

3 Januari 2012   08:44 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:24 203
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Mbah kakung dulu itu pejuang. Anak buahnya Pak Dirman (Jenderal  Soedirman). Sebelum ikut perang gerilya Mbah kakung nikah sama Mbah putri. Saat itu Mbah putri masih kerja di kejaksaan. Walaupun sering ditinggal Mbah kakung, Mbah putri ga pernah sekalipun 'nakal', begitu juga Mbah kakung. Setelah jaman perang selesai, beliau berdua menghabiskan hidup berdua, semua anak-anaknya termasuk Mama sudah berumah tangga. Kemana-mana selalu berdua. Klo suatu saat salah satunya pergi keluar karena urusan mendadak, yang satu pasti ga mau beranjak dari teras rumah sampe pasangannya pulang."

Aku mendengarkan dengan terpana cerita Mama tentang kakek-nenekku. Aku selalu takjub mendengarnya, walaupun saat itu aku masih SD. Bisa dibilang belum 'ngerti' banyak. Bahkan sampai aku beranjak dewasa sekarang, sudah bekerja, terkadang Mama masih suka bercerita tentang kakek-nenekku. Dan aku tak pernah bosan mendengarnya. Selalu aku tertarik mendengar kisah kakek-nenekku, entah dari Mama atau bude-budeku yang lain. Mereka sering bercerita kalau kakek-nenekku sangat saling mencintai. Apapun akan diberikan demi kebahagiaan pasangannya.

Hingga waktu akhirnya memisahkan mereka. Nenekku meninggal 4hari sesudah Idul Fitri awal tahun 2000. Saat aku masih kelas 3 SD. Aku sekeluarga biasa mudik kerumah kakek-nenek di daerah Jawa Tengah. Saat tiba waktunya kembali ke Jakarta adalah saat-saat paling berat bagi kami semua. Terutama aku yang sangat dekat dengan kakek-nenekku. Malamnya aku, kakek, nenek mengobrol akrab diruang tamu rumah nenek. Aku merajuk, berkali-kali aku katakan aku tidak ingin pulang ke Jakarta. "Ndut mau disini aja ya sama Mbah," kataku sedih. Kakek-nenekku tersenyum mendengarnya. " Kamu kan sebentar lagi masuk sekolah Nduk, jadi harus pulang," tukas Mbah putri sambil mengelus rambutku dengan sayang. Mbah kakung hanya tersenyum melihatnya. Sesaat aku diam merespon omongan Mbah putriku barusan, tapi kemudian aku tersenyum dan berkata "Iya deh klo gitu. Nanti klo Ndut udah SMA, Ndut kesini lagi ya Mbah. Sendiri aja, ga sama papa mama. Liburan kesini, nemenin Mbah putri sama Mbah kakung". Keduanya tersenyum. Namun Mbah putri menimpali ucapanku barusan "Klo kamu kesininya pas SMA, Mbah mungkin wis ra ono. Udah ga ada."

Ternyata ucapan Mbah putri adalah 'tanda' kalau beliau akan meninggalkan dunia fana untuk selamanya. Esok sorenya kami pulang ke Jakarta naik bus. Seperti biasa ritual tangis-menangis dimulai. Aku memeluk nenek-kakekku erat. Lagi-lagi Mbah putri mengatakan hal yang ganjil pada kami, "Wis ra usah mewek. Nangisnya engko wae". Kami cuma tersenyum mendengarnya tanpa tau makna dari ucapan beliau barusan. Ditengah perjalanan kami mendapat telepon dari salah seorang saudara di kampung yang memberi tahu kalau Mbah putri masuk rumah sakit. Tanpa pikir panjang kami langsung menumpang bus tujuan Yogyakarta kembali ke kampungku. Begitu tiba di terminal kami dijemput oleh Pamanku dan beberapa temannya. Betapa terkejutnya kami saat kami tahu bahwa Mbah putri sudah meninggal. Tangis kami langsung pecah di kesunyian malam. Mama tak henti-hentinya meronta sepanjang perjalanan kembali kerumah nenek-kakek. Saat tiba dirumah kesedihan semakin tak terbendung tatkala melihat jasad Mbah putri dibaringkan diatas tempat tidur. Mama langsung pingsan. Aku menangis memandangi jasad Mbah putri yang terbujur kaku. Kuelus pipinya, kupandangi segurat senyum yang terlihat di bibir tipisnya. Tak kusangka, baru tadi sore kucium tangannya, kucium pipinya, dan kulihat senyum khasnya, kini Mbah putri-Mbahku tersayang sudah tiada. Betapa nyawa dapat diambil sewaktu-waktu dari raga tanpa pamit.

Setelah tangisku agak reda, kuhampiri Mbah kakung yang duduk tak jauh dari jasad Mbah putri. Matanya berkaca-kaca menahan tangis. Kucium pipinya pelan, beliau menatap kearahku. Sebulir air mata menetes diwajahnya. Esok siangnya jenazah Mbah putri akan dimakamkan. Seluruh keluarga telah berkumpul. Sebelum jenazah Mbah putri dimasukkan ke keranda, kejadian memilukan membuat kami semua yang ada disitu termangu. Mbah kakung berdiri disamping jenazah Mbah putri. Sesekali beliau mengelus wajah Mbah putri yang sudah terbungkus kain kafan. "Dasar perempuan penipu. Kowe bilang tresno karo aku sehidup semati. Tapi ngopo kowe ninggali aku dewekan? Ngopo kowe lungo duluan? Aku karo sopo Jeng?" keluh Mbah kakung sambil menangis sedih. Kami semua ikut larut dalam kesedihannya. Setelah disholatkan, jenazah Mbah putri segera diusung ke pemakaman yang terletak tak jauh dari rumah. Selesai dimakamkan kami kembali kerumah dan mempersiapkan segala sesuatu untuk acara tahlilan malam harinya dan 3hari kedepan. Setelah 3hari kami pulang ke Jakarta. Berat rasanya meninggalkan Mbah kakung sendiri tanpa Mbah putri walaupun ada Om dan Tanteku disana.

Sepeninggal Mbah putri, Mbah kakung yang tadinya masih segar bugar jadi sakit-sakitan. Ingatannya juga mulai berkurang. Papa berinisiatif untuk menjemput Mbah kakung dan membawanya ke Jakarta, sekedar untuk mengajak jalan-jalan supaya Mbah kakung tidak larut dalam kesedihan. Namun di Jakarta pun, ingatan soal Mbah putri masih terpatri erat dalam nurani Mbah kakung. Sesekali Mbah kakung merasa kalau Mbah putri masih hidup, dan akan marah jika ada yang memberi tahu kalau Mbah putri sudah meninggal. Saat tidur Mbah kakung terlihat gelisah. Kadang beliau bangun ditengah malam dan kami dapati sedang melamun. Setelah beberapa lama di Jakarta, Mbah kakung minta diantar pulang ke kampung. Lagi-lagi ungkapan menyayat hati keluar dari mulut beliau. "Aku arep pulang. Kasian ibumu nunggu aku neng omah." Kali ini kami biarkan saja Mbah berkata seperti itu. Mungkin dengan menganggap Mbah putri masih hidup membuat Mbah kakung merasa nyaman.

Sesampainya di kampung kesehatan Mbah kakung tidak juga membaik justru semakin memburuk. Mbah bahkan beberapa kali dirawat di rumah sakit. Penyebabnya kondisi tubuhnya terus lemas karena kurang makan. Semenjak Mbah putri meninggal Mbah kakung jadi kurang nafsu makan. Tubuhnya yang tinggi tegap-maklum mantan pejuang-kini kurus dan lemah. Dengan sabar kami merawat Mbah hingga akhirnya diperbolehkan pulang kerumah. Tapi Mbah menolak ketika diajak pulang kerumahnya, beliau minta tinggal di rumah salah seorang Omku yang masih berada satu daerah.

Tak terasa Idul Fitri kembali tiba. 2kali Lebaran di tahun yang sama. Kami pulang kampung lagi. Seperti umumnya umat muslim diseluruh dunia, kami menunaikan sholat idul fitri di lapangan kebanggaan kampungku, rasa bahagia dan haru bercampur aduk. Bahagia karena kami kembali dipertemukan dengan hari yang suci ini, namun haru karena kali ini kami merayakannya tanpa kehadiran Mbah putri. Rupanya Allah kembali memberi ujian yang  berat kepada kami disaat berbahagia ini. Selepas tradisi maaf-maafan dan makan ketupat, kami berkumpul disekitar tempat tidur Mbah kakung dan berfoto bersama. Mbah kakung terlihat lahap menyantap masakan yang Mama buat sambil disuapi oleh Mama sendiri. Tiba-tiba Mbah kakung terdiam lalu pandangannya mengarah kearah pintu depan rumah yang sengaja dibuka lebar. "Ibumu teko Nang, Nduk. Ibumu teko arep jemput aku," senyum lebar menghiasi wajah Mbah kakung saat berkata seperti itu. Kami serentak memandang kerah pintu. Tidak ada siapa-siapa. Dan tidak mungkin Mbah putri disana. Kan Mbah putri sudah meninggal. "Ora ono sopo-sopo kok Pak. Maemnya abisin disik ya," tukas Mama berusaha mengalihkan perhatian Mbah kakung. Mbah kakung mengangguk, lalu melanjutkan makannya. Tiba-tiba Mbah kakung batuk, agak panik Mama langsung memberi Mbah kakung inum dengan sendok. Tak lama Mbah seperti tertidur dengan mulut agak terbuka. Ada sesuatu yang aneh pada Mbah. Papa meraba denyut nadinya, tidak ada detak. Dengan sigap Omku langsung pergi kerumah sakit memanggil dokter menggunakan vespa tua yang diparkir di halaman rumah. Dengan tangis tertahan kami mengelilingi tubuh Mbah kakung yang mulai dingin. Kupijit pelan pergelangan dan jari kakinya berharap dingin itu hilang dan kembali hangat. Tak berapa lama dokter jaga tiba bersama Omku dan langsung mengeluarkan stetoskop untuk memeriksa detak jantung Mbah kakung. Seperti sudah tahu jawaban apa yang akan kami terima, aku beringsut mendekat kesebelah Mama yang duduk di pinggir tempat tidur persis disebelah Mbah kakung. "Bapak sudah meninggal, baru 10menit yang lalu," ujar dokter. Air mata yang sedari tadi tertahan dipelupuk mata akhirnya tumpah juga. Dihari kemenangan dimana umat muslim diseluruh dunia bersuka cita, kami justru mendapat cobaan berat. Sekali lagi, di hari raya Idul Fitri, kami kehilangan orang terkasih kami kembali ke pangkuan Yang Maha Kuasa.

Dengan ambulans kami membawa jenazah Mbah kakung kembali kerumah tempat tinggalnya dulu dengan almarhumah Mbah putri tercinta. Seperti sebelumya semua keluarga berkumpul, anak, cucu, cicit, serta teman-teman seperjuangan dulu  mengantar jenazah Mbah kakung ketempat peristirahatan yang abadi, ke hadirat Allah SWT. Beliau dimakamkan bersebelahan dengan makam Mbah putri. Seperti permintaan beliau semasa hidup, beliau ingin dimakamkan disebelah Mbah putri. Katanya agar bisa menemani Mbah putri sampai akhir zaman.

Kepergian Mbah putri dan Mbah kakung memberi pelajaran hidup yang berarti bagi kami yang ditinggalkan. Bahwa janji sehidup semati, saling menerima apa adanya pasangan hidup kita bukanlah sesuatu yang sulit jika dilandasi oleh kasih yang tulus dan murni. Janji yang telah dibuat haruslah dijaga dengan baik dan sungguh-sungguh. Apapun yang terjadi, seberapa pun tinggi ombak yang menghantam, janji itu biarlah bersemi hingga akhir waktu seperti janji yang kita buat diawal kehidupan berumah tangga kita. Setidaknya walaupun kami merasa sangat kehilangan namun satu hal yang membuat kami tetap bisa tersenyum mengenang keduanya, bahwa mereka pergi dengan membawa cinta yang suci dan murni. Aku masih suka bermimpi, melihat Mbah putri dan Mbah kakung berdiri berdampingan dengan senyum mengembang. Selamat jalan Mbah putri-Mbah kakung terkasih .....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun