Ohotya adalah nama kampung yang berada di pesisir selatan ke arah timur Kabupaten Mimika. Letaknya di sebuah tanjung yang menghadap Pulau Yapero di perairan Arafura. Secara administrasi, kampung ini bergabung ke dalam Distrik Mimika Timur Jauh bersama 2 kampung tetanga, Fanamo dan Omawita.Â
Menurut data tim Kampung Sehat (Januari, 2020) kampung ini dihuni setidaknya 488 jiwa atau 110 KK. Untuk mencapai dermaga kampung, perahu harus masuk ke dalam sungai yang cukup lebar sejauh kira-kira 100 meter dari lautan bebas.Â
Di tempat yang terlindung oleh hutan bakau ini, kita tidak perlu kuatir perahu yang ditambatkan terseret ombak dari laut. Karena letaknya yang strategis ini, kemudian dimanfaatkan oleh perahu-perahu yang datang dari sebelah timur seperti Agimuga, Jita dan Asmat berlabuh disini sebelum melanjutkan pelayaran ke Poumako, kota pelabuhan Mimika, akses menuju Timika.
Kampung Ohotya dihuni oleh suku Sempan yang masih berkerabat dengan suku Kamoro, penduduk asli Mimika yang mendiami wilayah pesisir, bersama suku Amungme di pegunungan.Â
Menurut Manembu (1991) suku Sempan terdiri dari 3 sub suku bangsa, yaitu Inawkan, Omawkan dan Otakwan. Orang Otakwan menyebut dirinya Ahotia-Owe, berarti orang dari sungai Ahotia atau Ohotya. Dalam penyebutan sehari-hari, kampung Ohotya disebut juga Otakwa. Itu menunjuk pada wilayah yang sama.Â
Di kampung ini terdapat sekolah dasar milik Keuskupan Timika. Pengelolaan sekolah di dukung Dinas Pendidikan Kabupaten Mimika. Untuk pelayanan kesehatan, masyarakat dilayani oleh Pustu sebagai satelit dari Puskesmas Manasari yang terletak di ibukota distrik Mimika Timur Juah. Jarak Ohotya ke Manasari di tempuh kira-kira 2,5 jam pelayaran menggunakan perahu motor 15 PK, menghabiskan 20 liter premium yang di campur dengan 3/4 liter oli 2T.
Sembari menunggu jaring, masyarakat mengisi waktu dengan memancing. Hasil menjaring dan memancing di tampung oleh Koperasi Keuskupan yang per 3 hari atau lebih naik ke kota mensuplai kebutuhan warga Timika.
Selain ikan, Ohotya juga menghasilkan karana yaitu kepiting bakau. Karaka di cari di hutan-hutan abakau yang di apit puluhan sungai besar dan kecil (creek).Â
Pergi pagi dengan bekal sinole (sagu bakar), air minum dan bekas karung beras yang dijahit rapi kemudian di beri tali menjadi tas, mama-mama berangkat menuju hutan bakau dengan perahu motor.Â
Jarak tempuh dari kampung bervariasi 1-2 jam tergantung jauhnya hutan. Karaka dengan ukuran 2 telapak tangan orang dewasa dihargai Rp 10.000 per ekor. Ukuran yang lebih kecil dihargai Rp 5.000. Semua hasil mencari Karaka di tampung oleh pedagang Timika yang datang ke kampung.