Mohon tunggu...
Heidy Sengkey
Heidy Sengkey Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Ingin selalu berbagi lewat tulisan...\r\n\r\nMenghargai hidup dengan kerja keras dan mengasihi sesama.\r\n\r\n^__* Jalani hidup dengan penuh ucapan syukur...

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Yang Tersisa: Hak Anak Indonesia

24 Juli 2011   23:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   03:24 462
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_121366" align="aligncenter" width="610" caption="Masihkah ada masa depan untukmu, nak?"][/caption]

Hari Anak sudah lewat. Banyak perayaan sudah terlaksana, tapi masih ada rupanya yang tersisa. Yang tersisa adalah: Kenyataan kondisi sebagian anak Indonesia yang miskin, terpinggirkan dan teraniaya.

13115480611302680217
13115480611302680217
Menurut pendiri Indonesia Heritage Foundation (IHF) Ratna Megawangi, indikator semakin beratnya beban anak-anak Indonesia untuk menjalani proses tumbuh kembang mereka, dapat terlihat dari berbagai hasil survey. Menurut survey Save the Children di 10 provinsi, 93% anak-anak mengaku pernah mengalami tindak kekerasan baik di rumah maupun di sekolah.

“Tidak ada seorang anak pun akan mengalami gangguan tanpa alasan dan secara tidak sah terhadap kehidupan pribadinya, keluarga, rumah atau surat-menyurat….” Demikian bunyi Pasal 16 Konvensi Hak Anak (KHA) yang disahkan oleh PBB pada tanggal 20 November 1989. Artinya, anak patut dihargai privasinya, sehingga surat-menyurat atau buku hariannya tidak boleh begitu saja dibaca oleh orang tua.

13115481821200936353
13115481821200936353
“Anak akan mempunyai hak atas kebebasan untuk menyatakan pendapat….” (KHA psl.13) Artinya, orang tua patut menghargai perasaan, pikiran, dan pendapat anak. Orang tua perlu memberikan pertimbangan dan nasihat, namun tidak boleh memaksakan pendapat atau pilihan. Anak tidak boleh dipengaruhi untuk menghina, mencurigai atau membenci orang, kelompok, bangsa, budaya atau agama lain.

Pada tahun 2003 Federasi Kesehatan Mental Indonesia menurunkan laporannya bahwa mayoritas anak remaja Indonesia 82% beranggapan bahwa orang tua mereka bersikap otoriter. Sebanyak 50% responden mengaku sempat mendapat hukuman fisik dari orang tua dan 39% mengaku menderita lantaran memiliki orang tua yang sangat pemarah. Hampir 50% anak SD mengaku pernah mengalami bullying di sekolah.

13115482211852064729
13115482211852064729
“…Untuk melindungi anak dari semua bentuk kekerasan fisik dan mental, cidera atau penyalahgunaan, penelantaran atau perlakuan salah…” (KHA psl.19). Artinya, orang tua dan guru patut menegur atau menghukum kesalahan anak, namun tidak boleh menyiksa atau menelantarkan anak.

Menurut hasil studi Plan International di 18 provinsi pada tahun 2005 menyimpulkan, sekolah bisa menjadi tempat yang berbahaya bagi anak-anak, dikarenakan banyak ragam bentuk kekerasan di sekolah. Anak-anak banyak yang menjadi fobia sekolah. Takut dengan guru galak dan ringan tangan (suka pukul) atau juga takut dihajar teman-teman sekelas. Tekanan mulai dari rumah sampai sekolah membuat emosi anak menjadi negative dan labil. Emosi negative ini ditakutkan akan bermuara pada prilaku negatif anak-anak tersebut di lingkungan sosial mereka.

1311548789900105040
1311548789900105040
“…Seorang anak yang untuk sementara atau secara tetap kehilangan lingkungan keluarga….berhak memperoleh perlindungan khusus…atau mengijinkan sistem adopsi akan menjamin bahwa kepentingan terbaik dari anak akan merupakan pertimbangan yang paling utama” (KHA psl.20,21). Artinya, anak tidak patut hidup terlantar tanpa perlindungan, perawatan, pengasuhan, dan kasih sayang.

“…Seorang anak yang menderita cacat mental atau fisik hendaknya menikmati kehidupan penuh dan layak dalam keadaan yang menjamin martabat, meningkatkan percaya diri…” (KHA psl.23). Artinya, anak yang cacat patut dihargai dan diperlakukan sama.

Secara keseluruhan KHA terdiri dari 54 pasal. Pasal-pasal lain menyangkut perlindungan dari jual beli anak, pelecehan seksual, wajib militer, pekerjaan yang kurang sesuai dengan usia, dan sejumlah hak anak untuk mendapat pendidikan, kesempatan bermain, kesempatan membaca buku, kesempatan berkarya dan berkreasi.

1311548430800731831
1311548430800731831
Gagasan awal KHA dicetuskan oleh seorang ibu di Eropa yang bernama Eglantyne Jebb pada tahun 1923. Gagasan ini diterima oleh Liga Bangsa-bangsa dan dilanjutkan oleh PBB. Dalam rangka Tahun International Anak pada tahun 1979, gagasan ini disebarluaskan dan ditanggapi. Akhirnya, pada tahun 1989 gagasan ini mewujud dalam bentuh KHA yang sekarang kita kenal dengan empat prinsip.

Prinsip pertama adalah nondiskriminasi. (KHA psl.2)

Prinsip kedua adalah melakukan apa yang terbaik bagi anak. (KHA psl.3)

Prinsip ketiga adalah hak untuk hidup, kelangsungan hidup, dan berkembang. (KHA psl.27)

Prinsip keempat adalah menghargai pendapat dan perasaan anak. (KHA psl.12)

Heidy Sengkey

Sumber: Konvensi Hak Anak (KHA)

Sumber gambar: Photostock.Anak miskin.Terlantar.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun