Mohon tunggu...
Heidy Sengkey
Heidy Sengkey Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Ingin selalu berbagi lewat tulisan...\r\n\r\nMenghargai hidup dengan kerja keras dan mengasihi sesama.\r\n\r\n^__* Jalani hidup dengan penuh ucapan syukur...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Wanita Cantik yang Begitu Menggoda

14 Desember 2011   17:34 Diperbarui: 25 Juni 2015   22:16 996
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

[caption id="attachment_149543" align="aligncenter" width="611" caption="Sumber: Hongsui.net."][/caption]

Manado adalah sebuah kota indah dan luarbiasa yang terletak di central Sulawesi Utara. Konon, di kota ini masyarakatnya hidup berdampingan dengan rukun dan damai. Dijadikan barometer kota teraman di seluruh Indonesia. Memiliki filosofi ‘torang samua basudara’ yang menyatukan dan mempererat tali persaudaran masyarakatnya. Di kota inilah kisah nyata ini bermula. Seperti yang dikisahkan sepupu saya, dan telah menjadikan saya begitu tertarik menuliskan kisahnya itu.

“Sialan, kenapa pintunya keras begini. Aduuuh kenapa begini ya…” Suara berisik itu cukup mengusik telingaku yang lagi nyantai di teras apartemen yang baru tiga bulan kami tinggali. Tapi sering hanya aku sendirian yang makan, molor, dan bernafas di sini. Semua saudara dan kerabatku lebih banyak menghabiskan waktu di oluar kota, tergantung kerjaan masing-masing mereka tentunya.

“Ada apa mbak? Ada yang bisa dibantu barangkali?” Aku berusaha bersikap sopan kepada wanita yang terlihat kerepotan membuka pintu apartemennya.

“Iya mas, ini kok susah sekali bukanya yah, padahal tadi baik-baik aja kok”

“Jangan-jangan lobang kuncinya terhalang sesuatu mbak? Sini biar aku periksa” Kutawarkan jasa walau ia sedikit pun tak memintanya. Tak apalah, namanya juga usaha.

Aku berjalan mendekati pintu apartemen tetangga sebelahku itu. Dan Cessssss…..betapa terkejutnya aku ketika berpapasan pandang dengan wanita itu.

Buset dah!, cantik amaaaat” batinku. Terkejut juga sih, kok ada bidadari di samping tempat aku tinggal, tapi tak pernah sekalipun aku menyadarinya. Aku jadi melamun. Menembus awan menggapai tingginya langit.

“Apa saya mengganggu mas? Kok melongo aja di situ, ada apa ya?” Suara manisnya seperti petir yang menyadarkan lamunanku. Aku jadi salah tingkah dan malu.

“Eeh..ooh…iya..iya…ini juga baru mau betulin kok.” Duh, suaranya itu lho. Bikin teler, melebihi telernya Es Teler 77.

Bergaya persis anggota regu penyelamat, kuperika dengan seksama dan dalam tempo yang tidak singkat lobang kunci serta gagang pintu itu. Kelihatannya tidak ada yang rusak sih. Kucoba memutar-mutar kunci apartemen itu, tapi sepertinya sudah nggak bisa dibuka lagi pintunya.Kuncinya karatan di dalam barangkali, seperti sudah lama tak digunakan.

“Maaf mbak, kayaknya ada yang janggal pada kunci pintu ini. Sepertinya tidak pas, jangan-jangan kuncinya memang salah? Coba mbak langsung ke bagian maintenance building siapa tahu mereka tahu penyebabnya dan bisa membantu.”

“Mau aku anterin mbak?”

“Oh nggak perlu, biar saya sendiri yang pergi, nanti merepotkan mas saja” wanita yang luar biasa menggoda itu menampik ajakanku secara halus.

“Okelah kalau begitu. Hati-hati yah, bentar lagi matahari masuk tuh, menurut kabar lingkungan apartemen kita ini termasuk angker lho. Yah, sekedar jaga-jaga aja mbak…jangan terlalu lama di luar apartemen. Kalau sekiranya ada apa-apa mampir jo ke kita pe tempat ya mbak, kan kita baku birman?” Kali ini kulakoni jurus merayu ala Lupus. Merayu dengan jurus terkenalnya yaitu jurus ajaib--- bibir memble menolak ingus. Pake logat Manado yang kurang fasih lagi,

Perempuan itu hanya tersenyum manis. Manis sekali senyumannya itu. Sampai-sampai tak kuasa kualihkan pandangan mataku, hingga ia betul-betul lenyap dari pandangan mata.

Malam itu terasa panas sekali udaranya, Uuuh kalau musim kemarau selalu saja panasnya minta ampun. Jakarta kalah jauh panasnya. Dengan hanya mengenakan kaos oblong duduk santailah diriku ini di bawah pohon cemara tinggi samping apartemen. Ngantuk aja bawaannya kalau udara seperti ini. Tiba-tiba wanita cantik yang aku sendiri belum tahu namanya itu muncul dari balik bagunan apartemen yang berdiri berjajar. Tapi rupanya ia tak sadar aku lagi duduk di situ. Terlihat ia berjalan cepat melewati tumpukan bata yang sangat banyak di sudut jalan.

“Mbak..mbak..tunggu..” aku berteriak memanggilnya. Ia terlihat kaget, menoleh lalu akhirnya melambaikan tangannya.

Lho, kok kamu duduk sendirian di situ? Apa belum ada yang menemani hayooooo?” Aaah kata-kata dan suaranya luar biasa memang. Memukul-mukul ruang batinku yang selama ini seperti sudah membeku.

“Oh iya nih, aku lagi ngopi sendirian. Ngantuk berat soalnya. Memangnya mbak mau nemanin apa?” Aku balas menggodanya.

“boleh juga sih, tapi saya buru-buru nih mau ke rumah makan Cina di seberang jalan. Lapar, belum makan sedari tadi soalnya, dan pintunya belum bisa kebuka. Maintenance yang aku cari itu belum pada ketemu juga. Mungkin mereka sibuk kali yah?”

Kualihkan pandanganku ke apartemen miliknya itu, memang masih gelap gulita. Tak satu lampu penerang apapun yang menyala di dalam sana.”

“Oh begitu ya…gini aja, gimana kalau kutemani mbak makan?” Aku menawar diri untuk menemaninya. Tapi aku sudah bersiap-siap untuk ditolak lagi.

“Boleh kok, ayoooo….. I’m really starving by now” ujarnya. Aku kaget tapi gembira banget tawaranku tak ditolak wanita sempurna itu.

Tidurku begitu nyenyak. Sehabis makan dan bersenda gurau dengan wanita secantik Lola. Iya, itu namanya. Nama yang pendek tapi manis. Lola ooh Lola what a lovely lady!

Bahkan aku sampai bermimpi. Mimpi yang aneh namun indah buatku. Lola dalam mimpiku sudah menjadi begitu akrab denganku, dan bahkan ia memohon-mohon supaya aku mau ambil cuti barang sebentar saja dan menemaninya pulang ke Kalimantan. Ia bilang bahwa sudah begitu lama tak pernah ketemu orang tuanya lagi. Ia sangat berharap aku mau menemaninya menemui kedua orang tuanya di Kalimantan. Tapi sayang itu hanyalah sebuah mimpi.

Mentari begitu ceria menyambut datangnya pagi. Udara di luar sana begitu cerah dan tak nampak ada awan di atas sana. Langit biru membentang luas dari satu ujung ke ujung yang lain. Seperti sebuah tirai indah mahakarya Sang Ilahi. Sebuah karya Ilahi yang maha dahsyat, dan tak terlukiskan oleh sekedar kata-kata. Seperti biasanya, setiap pagi aku selalu berolahraga lari pagi di sekeliling kompleks. Maunya sih ngajak Lola buat nemanin lari pagi, tapi tak jelas di mana rumah tantenya. Apartemen miliknya yang bersebelahan itu masih tertutup rapat, dan kata Lola selama pintunya belum kebuka ia akan tidur di rumah tantenya yang tak jauh dari kompleks kita ini. Tapi ia tak mau memberitahu di mana pastinya rumah tantenya itu. Ya sudahlah.

Tiga putaran aku lalui. Tubuhkuh sudah basah oleh keringat. Terasa bugar benar badan ini sehabis berlari mengelilingi kompleks Taman Sari Mtp, nama lingkungan apartemen kelas menengah ke atas, tempat aku tinggal ini.

Tiba-tiba kulihat Franz dan James, dua maintenance building yang bertugas mengawasi dan memperbaiki setiap kerusakan apapun di lingkungan apartemen itu. Terlihat mereka sementara memperbaiki beberapa lampu taman yang memang sejak semalam tak berfungsi.

“James, Franz…sorry, kalian lagi sibuk banget yah?”

“Eh, Roy, nggak juga sih, cuma betulin beberapa lampu aja

Gini lho, sejak kemaren tetangga saya nggak bisa masuk apartemenya, kayaknya kunci pintunya yang nggak cocok githu lho…”

Mereka berdua saling pandang curiga. Lalu si James bertanya “Tetangga yang sebelah mana Roy? Soalnya kalau kunci pintu nggak mungkin salah lah.”

Mending kita ke sana aja yah….gimana apa kerjaan kalian boleh ditinggal sebentar?”

Hanya butuh 5 menit kami sudah mencapai apartemen Lola yang hanya berbatas dinding dengan apartemenku. Tanpa ragu telunjukku menunjuk apartemen itu. Kulihat James dan Franz bercakap serius, entah apa yang mereka bicarakan, aku tak bisa mendengar sebab mereka berbicara setengah berbisik.

“Apa kamu yakin itu apartemennya, Roy?”

Lha iyalah….gimana sih kalian.”

“Bukan apa-apa Roy, tapi apartemen itu memang sudah dikunci selama 6 bulan ini. Kuncinya sudah diganti pihak manajemen. Dan sampai saat ini belum ada yang mau menempatinya.”

Lho, aku yang jadi bingung sendirian. “Sialan, si Lola bohongin aku, karena sebenarnya dia tak tinggal di sini tho.”

Franz yang berbadan gempal dan kalau bicara suka ngos-ngosan itu kemudian mengatakan sesuatu yang membuatku terduduk lemas. Ia bilang begini, “Iya Roy, memang betul apartemen ini sudah tidak lagi dihuni semenjak penyewanya yang terdahulu meninggal dunia karena bunuh diri. Nama wanita yang bunuh diri itu Lola. Menurut desas-desus ia bunuh diri karena stress berat tak bisa pulang menemui kedua orang tuanya.”

Aku tidak sampai pingsan mendengarnya. Tapi sepertinya dunia di sekelilingku berputar-putar tak menentu. Kakiku lemas lunglai tak mampu kugerakkan. Pikiranku menerawang jauh menembus segala ruang dan waktu. Teringat semua lamunan dan anganku. Terbayang ketika aku bercanda gurau dengan Lola waktu menemaninya makan kala itu. Terngiang-ngiang mimpi semalam di mana Lola memohon-mohon supaya aku menemaninya pulang menemui orang tuanya di Kalimantan. Ternyata Lola sudah wafat enam bulan yang lalu.

“Kau kenapa Roy?” Suara Franz yang serak menyadarkanku.

“Ah, tidak apa-apa aku hanya kaget aja” kataku pendek.

Malam berikutnya keadaan menjadi serba menakutkan. Aku menjadi tak tenang dengan situasi ini, apalagi dinding apartemenku berdempetan langsung dengan apartemennya si Lola. Malam kian larut, belum bisa juga kupejamkan mata ini. Sebentar-sebentar ku lirik jam dinding yang bunyinya terdengar aneh. Tik..tak..tuk..tik..tak..tuk, terus berdentang yang lama-kelamaan bunyinya menjadi seperti suara langkah seseorang yang lagi memakai sepatu hak tinggi. Sudah jam 1 tengah malam. Belum juga mata ini mau terlelap. Suara jangkrik dan binatang malam lainnya membuat bulu kuduk makin merinding. Apalagi angin berhembus sangat kencang dan menimbulkan suara gemericik dedaunan yang aneh dan begitu mencengkam. Aku hanya mampu berdoa, supaya malam ini cepat berlalu. Tapi karena tak bisa tidur, tentu saja malam terasa bergerak sangat lambat. Lebih lambat dari kura-kura.

Bluuuup! Aku kaget setengah mati, tanpa ada yang menyentuh, layar laptopku menyala sendiri. Dan setelah kupandangi seksama, ada semaca note seperti tulisan berjalan (running text) di screen yang tertulis, “Tolong temani aku pulang ke rumah orang tuaku…” Tulisan yang sungguh membuatku bergidik.

Tiba-tiba sekilas mataku menangkap sesosok bayangan di luar sana. Di balik kaca tembus pandang apartemenku ada sosok yang sementara memandangiku sambil tersenyum. Bagiku itu bukan lagi senyuman termanis, tapi lebih mirip seringai. Sosok itu adalah si Lola. Tapi ia juga terlihat begitu berbeda dari malam-malam sebelumnya. Rambutnya terlihat sangat awut-awutan, wajahnya sangat pucat dan tirus, serta memiliki tatapan kosong. Seringainya seakan-akan hendak menelanku bulat-bulat. (Semenjak malam itu, aku terus-terusan dihantui Lola.)

Kepalaku mendadak terasa berat. Bayangan Lola, wanita cantik rupawan yang sempurna, dan begitu menggoda itu seperti menari-nari di depanku. Lalu wajahnya menjadi sangat menakutkan, ia mencoba mendekatiku. Ya Tuhan, selamatkan aku, pintaku setengah memaksa. Hingga akhirnya semuanya berubah gelap dan pekat. (HS)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun