Jangan Pisahkan Kami Lagi.
Michelle adalah seorang wanita desa yang sangat ayu. Namanya memang kebarat-baratan, tapi sesungguhnya gadis ini adalah wanita desa yang belum sekalipun menginjakkan kakinya di kota besar. Jangankan ke luar negeri, ke Jakarta pun ia belum pernah. Orang-orang di desanya lebih mengenal perempuan yang sopan dan ramah ini dengan ‘Chel’. Ya, mereka sering memanggil dia dengan nama yang unik itu. Chel.
Ia hidup dan dibesarkan oleh seorang nenek tua, tetangga dekatnya. Nenek yang sudah dianggap keluarga satu-satunya yang ia miliki. Tapi sekarang Michelle tinggal sendirian di rumah yang dibangunya sendiri dari hasil kerjanya sebagai seorang arsitek. Ia memang belum lagi menamatkan kuliahnya di jurusan teknik arsitek sebuah universitas swasta, tapi karena kepintarannya ia sudah sering dipakai orang yang hendak membangun rumah. Hasilnya lumayan, ia bisa mendirikan rumahnya sendiri di desa itu. Tepat di sudut dan ujung jalan perbatasan desa Lopana.
“Pak, jalan menuju desa Lopana lewat mana sih?” Tanya seorang pemuda ganteng kepada sorang lelaki tua yang lagi bengong di pinggir jalan.
“Oh, itu tuh kira-kira 100 meter dari sana, kamu akan melihat pohon mangga gede. Nah, belok kiri setelahnya akan mengarahkanmu masuk ke desa Lopana.”
“Oh, kalau begitu terima kasih ya pak.”
“Sama-sama nak!”
Pemuda ganteng itu lalu memacu mobilnya sekencang mungkin. Terburu-buru. Tergesa-gesa, entah kenapa. Tapi, untung tak selamanya dapat diraih dan malang kadang tak bisa ditolak. Pemuda itu kehilangan keseimbangannya dalam mengemudi. Sewaktu hendak membanting stir mobil belok kiri sesuai jalan yang ditunjukkan pak tua tadi, mobilnya justru menabrak pohon mangga gede di samping jalan. Keras sekali. Ia sampai tak sadarkan diri. Orang-orang di desa itu langsung berbondong-bondong ke tempat kejadian.
“Ada apa ini?” Sebuah suaru halus penuh tanya tiba-tiba menerobos kerumunan orang banyak.
“Oh ini neng, ada kecelakan di depan rumah neng Chel” kata beberapa orang serempak.
“Ha? Apa orangnya luka parah? Meninggal atau bagaimana?”
“Tidak neng, tapi kayaknya luka gores pemuda itu cukup parah tuh” jelas seorang ibu yang lagi menggendong bayinya, sambil memberi jalan.
“Permisi…permisi…bapak-bapak tolong bawa orang ini ke dalam rumah saya yah…tolong ya…”
“Iya…iya…baik neng, segera kami bopong ke dalam.” Bergegas mereka membawa anak muda itu masuk ke dalam rumahnya si Michelle.
Empat jam lamanya pemuda ini tak sadarkan diri. Darah disekujur tubuhnya sudah dibasuh dan dibersihkan Michelle. Seorang dokter puskemas juga sudah datang sesuai permintaan Michelle. Dokter itu mengatakan bahwa pemuda yang kecelakaan itu sebenarnya tidak apa-apa, mungkin pingsannya dikarenakan ia shock saja. Tapi luka goresan di wajah dan lengannya memang lumayan parah, tapi karena hanya luka gores maka tak perlu sampai dirawat di rumah sakit.
Jam 5 sore pemuda ini baru sadar. Ia bingung dan gelisah. Matanya jelajatan menyapu seluruh sudut ruangan di mana ia berbaring.
Tiba-tiba pintu kamar terbuka. Michelle masuk membawa segelas teh manis.
“Kamu sudah siuman ya? Itu tadi kamu nabrak pohon mangga di depan rumah saya”
“Eeh…ooh, sudah berapa lama saya di sini yah?” tanya pemuda itu.
“Sekitar 5 jam” jawab Michelle pendek.
“Aduh! Ini tidak boleh terjadi….saya harus pergi dari sini. Harus.”
“Lho, tapi kamu kan masih sakit” sergah Michelle setengah melarang pemuda itu untuk bangkit berdiri.
“Gimana kalau besok saja kamu terusin perjalananmu? Malam ini kamu istirahat saja di sini” tawar Michelle sembari melempar senyum manisnya. Pemuda yang tadinya sudah mau berdiri sepertinya menyadari bahwa memang ia belum cukup kuat.
“Terima kasih ya. Mungkin kamu benar”
“Ngomong-ngomong, namaku Michael, boleh tahu siapa namamu?”
“Oh, aku Michelle”
“Lha, kok nama kita hampir mirip ya?” Dua-duanya sepertinya terkejut, dan akhirnya tertawa bareng.
Pagi itu, sang mentari memancarkan sinar cerahnya menyambut pagi. Kokok ayam jantan menghiasi indahnya pagi. Burung-burung pun satu demi satu terbang dari pohon yang satu ke pohon yang lain, seakan mau mengucapkan selamat pagi bumi. Di pojok ruang tamu itu, terduduk diam Michelle yang lagi memandangi sebuah foto keuarga. Dalam foto itu ada empat sosok. Ayah, Ibu, dan dua anak.
“Selamat pagi Michelle”, suara itu membuyarkan lamunan Michell.
“Kok masih sepagi ini kamu terlihat sudah melamun, Chel. Mukamu terlihat murung, ada apa sih kalau boleh tau?”
“Ah, nggak kenapa-kenapa kok aku hanya lagi teringat ibu dan kakakku yang entah kemana. Kami sudah terpisah sejak aku masih berumur 6 tahun. Kata orang di desa ini, bapakku sudah meninggal ketika ada banjir besar puluhan tahun yang lalu. Ibu dan kakaku sempat diselamatkan, tapi kemudian entah di mana rimbanya” Michell menjelaskan panjang lebar.
“Oh iya, saya lupa nanyain kemarin, kamu ngapain ke desa ini. Sepertinya dari cara kamu yang terburu-buru, apa ada yang penting ya di desa ini?”
“Oh gini Chel, mungkin nasib kita sama, aku juga sudah kehilangan bapakku semenjak aku masih kecil. Aku lalu tinggal bersama ibuku yang sudah puluhan tahun mengalami stroke. Ia tak bisa bicara dan menggerakkan tubuhnya. Kami tinggal di Jakarta, dan nyawa ibu saya tinggal tergantung pada selang-selang yang masuk melalui hidung, mulut, dan kulitnya.”
Michelle menatap Michael penuh rasa haru dan iba.
“Ternyata bukan cuma nama kita yang hampir sama, tapi nasib kita juga sama. Ya, sama-sama menderita dan sengsara.”
“Lalu apa hubungan kalian dengan desa ini, maksudnya kenapa kamu sampai datang ke desa ini, Michael?”
“Jadi ceritanya begini Chel, sekitar seminggu yang lalu aku lagi ngatur-ngatur dan bersih-bersih kamar ibu. Nah waktu itu aku lihat akte kelahiran ibu yang tertera di desa Lopana Minahasa ini. Di situ juga ada beberapa foto yang sudah agak rusak dan kehilangan warna. Aku lalu jadi penasaran untuk datang melihat desa di mana ibu dilahirkan, siapa tahu masih ada keluarganya yang hidup dan mengenalinya. Sekaligus mencari tahu kabar di mana bapakku meninggal dan kuburnya ada di mana.”
“Oh kalau begitu aku temani kamu yah, nanti aku antar ke nenek tua tetanggaku yang sudah membesarkan dan merawatku sejak kecil. Mungkin saja beliau mengetahui sesuatu tentang keluargamu. Soalnya nenek itu sudah lama sekali tinggal di desa ini” Michael pun menganguk tanda setuju.
“Sekali lagi, terima kasih ya Chel.”
Rumah nenek tua itu sudah begitu rapuh, jendela kayu yang bolong kiri-kanan tidak bisa lagi ditutup dengan rapat. Tangga depan rumah terlihat sangat tua dan tak kuat lagi menahan dua orang yang naik bersamaan.
Michael menatap tangga tua itu dan berbisik ke telinga Michelle, “Chel apa nggak pintu lain untuk masuk ke dalam? Tangga ini kayaknya nggak bakalan mampu menahan tubuhku yang segede sapi bunting ini.”
Michelle hanya menyambutnya dengan tertawa cekikikan, “Ah kamu bisa aja, ayolah ikutin aku, kita masuk satu-satu. Aku duluan”.
Michelle lalu menaiki tangga yang cukup tinggi itu dan membuka pintu rumahnya, “Nek…nek…ini aku nek, ini Chel nek…”
Dari arah dapur terlihat nenek tua renta itu berjalan mendekat. Ia berjalan tertatih-tatih dengan sepotong tongkat untuk menyanggah tubuhnya agar tidak jatuh ketika berjalan.
“Michelle…..Michelle…kamu kok udah jarang mengunjungi nenek sih?”
“Iya nek, Chel sibuk banget buat persiapan ujian nanti, nek. Michelle minta maaf ya nek”
“Oh ya, ini aku bawa teman lho nek” Michelle memberi isyarat supaya Michael segera naik ke atas.
Michael pun memperkenalkan dirinya ke si nenek tua itu. Tapi ia merasa agak risih dan kikuk juga ketika nenek tua itu memelototi dirinya dari ujung kaki sampai ujung rambutnya. Tatapan nenek itu tiba-tiba turun kembali dan berhenti tepat memandangi matanya. Mereka beradu pandang membuat Michael tambah gelisah. Nenek itu sepertinya mencium sesuatu yang aneh pada mata dan wajah Michael. Entah apa itu.
“Jangan-jangan ini nenek naksir aku lagi” Batin Michael dalam hatinya.
Mungkin cemas juga dirinya bakalan mempersunting nenek-nenek.
“Hualaaaaah….jauhkan…jauhkan….berikan aku nona-nona jangan nenek-nenek” Pikiran Michael masih menerawang tak karu-karuan.
Michelle tiba-tiba memotong kevakuman situasi tersebut, “Gini lho nek, ibunya si Michael ini katanya berasal dari desa ini, tapi sekarang keadaannya lagi stroke berat dan tak bisa bicara apa-apa. Michael kepengen banget mencari tahu silsilah keluarga ibunya di desa ini, nek.”
Si nenek terlihat mencoba mengingat-ingat. Dahinya yang memang sudah keriput tambah keriput lagi ketika lagi berpikir keras.
“Eh, begini….apa kamu punya foto ibumu, nak?” Tanya si nenek kemudian.
“Oh ya, saya bawa juga foto ibuku.” Michael lalu merogoh sesuatu dari dalam dompetnya. Ada lembaran foto yang sudah diguntingnya. “Ini fotonya, nek.”
Nenek itu lalu mengambil foto yang diberikan Michael, dan hanya dalam hitungan detik setelah melihat foto itu, nenek tua itu berteriak histeris.
Michael dan Michelle kaget tak karu-karuan. “Ada apa nek?” kata mereka serempak.
Nenek berkata sambil memegang pundak Michelle, “Michelle….! Laki-laki yang duduk di sampingmu itu adalah kakak kandungmu! Kalian sudah terpisah sejak peristiwa banjir puluhan tahun yang lalu itu. Ibu dan kakakmu waktu itu entah bagaimana dan kenapa tidak pernah balik lagi ke desa ini. Ayah kalian juga tidak pernah ada kabarnya.”
Pernyataan nenek itu sontak membuat Michael dan Michelle kaget bukan kepalang. Mereka terdiam seribu bahasa. Michael menatap Michelle lembut, terlihat ada butiran air mata yang sementara mengalir di wajahnya Michelle. Perempuan yang sepertinya sudah mulai dicintainya. Perempuan yang dalam pikirannya kelak hendak diajak supaya menjalin hubungan lebih dekat dan lebih akrab lagi. Perempuan yang sudah menolongnya dari kecelakaan kemaren, dan yang di matanya begitu baik, perhatian, serta lemah lembut. Perempuan yang ternyata adalah adiknya sendiri.
Perlahan tangan yang perkasa dan kokoh itu menarik lembut pundaknya Michelle, lalu didekapnya erat. Michelle berkata lirih…”Kak, ternyata Tuhan maha baik, walalu dalam keadaan seperti ini, Ia akhirnya mempertemukan kita. Aku gembira bertemu dengan satu-satunya kakak yang kumiliki. Dan aku sangat senang, ternyata aku masih memiliki seorang ibu. Ajak aku ketemu ibu ya kak?”
Mereka menghabiskan hampir tiga jam di rumah nenek tua itu, bertukar pengalaman mereka selama terpisah sebagai kakak beradik. Nenek tua itu juga menceritakan panjang lebar kehidupan mereka sebelum banjir besar itu menyapu desa Lopana. Setelah beranjak pulang dari rumah nenek tua itu pun, keduanya masih diliputi rasa yang tidak menentu. Shock mereka belum juga usai.
***
Di hati Michael dan Michell terpanjat doa yang sama, “Tuhan jangan pisahkan kami lagi.” Dan Michael membawa adiknya ke Jakarta untuk menemui ibu mereka. Keberadaan Michelle di dekat ibunya membuat mujizat demi mujizat yang dokter sendiri heran. Ibu mereka yang menurut dokter tak tersembuhkan, perlahan-lahan mulai terlihat tanda-tanda membaik. Ternyata kehadiran anak perempuannya itu sungguh berarti baginya.(Heidy)
Tamat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H