Berbekalkan pengetahuan Bahasa Arab yang sangat minim, saya memberanikan diri untuk menjejakkan kaki di Kerajaan Barat, pintu masuk ke benua Afrika dari Eropa. Perjalanan ke negeri paling pojok di benua Afrika dan berbatasan langsung dengan samudera atlantik dimulai dari kota Bremen. Dari kota yang terletak di bagian utara Jerman, saya menaiki pesawat dengan tujuan Marrakesh yang terkenal dengan Djemaa el Fna, salah satu alun-alun yang tersibuk di benua Afrika dan bahkan dunia. Waktu tempuh kurang lebih empat jam di pesawat menjadi detik-detik yang begitu berharga dalam seri pertualangan saya kali ini dikarenakan dua hal. Pertama dikarenakan pemandangan yang sangat indah terutama saat melewati semenanjung Iberia yang tekenal dengan rantai gunung Cordillera Betic. Bagian barat rantai ini yang terletak antara Malaga dan Gibraltar merupakah sebuah mahakarya ciptaan Tuhan yang sangat indah.
Hal yang kedua dikarenakan pengalaman saya berhadapan dengan cuaca buruk saat berada dalam pesawat. Selama kurang lebih 45 menit, para penumpang harus berkonfrontasi langsung dengan hujan badai disertai petir dan guruh. Pengalaman melihat petir langsung lewat jendela pesawat di ketinggian 35 000 kaki dari paras laut merupakan detik-detik yang begitu berharga. Keadaan sangat panik waktu itu. Para penumpang tidak ada yang berbicara sama sekali, diam seribu bahasa, menahan emosi dan fisik dari muntah. Para penumpang juga satu persatu bangun meminta kantong kertas untuk persiapan muntah. Tidak kurang yang mau ke WC tapi disusruh duduk kembali oleh para awak kapal. Guncangan pesawat membuat saya berasa mual dan pusing. Saya tidak henti-henti berzikir, berdoa dan berharap semoga cuaca buruk akan segera berakhir. Dari jendela, saya melihat petir dan pesawat tidak henti-henti berputar di tempat yang sama karena terperangkap cuaca buruk dan tidak boleh mendarat.
Alhamdulillah, setelah beberapa waktu, pilot berhasil melewati cuaca buruk dengan mengubah jalur perjalanan dari Marrakesh ke Agadir. Saat tiba di Bandara Al-Massira di kota Agadir, saya coba untuk mencari akses wifi supaya saya bisa mendapatkan informasi untuk melanjutkan perjalanan dari kota Agadir ke Casablanca karena kota Agadir tidak masuk dalam rute petualangan saya. Namun, tadkir berkata lain, saya harus mendarat di kota Agadir, di mana petualangan yang sesungguhnya akan segera dimulai. Saya membuka telfon seluler saya, sayang sekali tidak ada sinyal. Kalau saya di Indonesia, pasti dengan sangat mudah saya bisa mendapatkan akses internet dengan teknologi Smartfren 4G LTE Advanced (www.smartfren.com/4g). Dengan jaringan smartfren yang sangat luas di berbagai daerah di Indonesia, saya pasti akan dengan sangat mudah terhubung dengan dunia informasi virtual, teknologi di hujung jari.
Akhirnya saya memutuskan untuk meggunakan teknologi insani, bertanya dengan dengan petugas yang ada di bandara. Dengan kemampuan Bahasa Arab saya yang sangat minim, akhirnya saya memutuskan unutk menaiki taksi ke Terminal Bus Kota Agadir dan seterusnya menaiki bus ke kota Casablanca, yang terletak lebih dekat dengan kota Agadir dibandingkan dengan kota Masrakesh. Perjalanan memakan waktu kurang lebih 9 jam. Saat bus mulai bergerak meninggalkan terminal, banyak pedagang yang masuk ke dalam bus dan menawarkan dagangan masing-masing kepada para penumpang, sebuah pemandangan yang tidak asing buat saya. Lewat jendela, saya bisa melihat suasana terminal sore hari itu yang terlihat sangat ramai dengan banyaknya kendaraan dan warga yang memenuhi setiap ruas jalan yang ada, tidak jauh berbeda dengan kondisi terminal bus yang ada di Jakarta.
Perjalanan ke kota Casablanca melewati pusat kota Agadir yang mempunyai tata letak kota yang tersusun rapih. Kota yang terletak di bagian selatan Maroko ini dikelilingi oleh Anti-atlas (atau Little Atlas, yang merupakan bagian dari gunung Atlas yang terletak di barat laut Afrika), gurun Sahara dan pantai yang berbatasan langsung dengan laut Atlantik. Dari kota Agadir, bus yang saya naiki menyusuri jalan Autoroute Casablanca-Agadir yang baru diresmikan pada pertengahan tahun 2010. Jalan sepanjang 453 km yang mulai dibangun sejak tahun 2000 ini menghubungkan kota Casablanca dan Agadir melewati kota Marrakesh dan gunung High Atlas, sebuah pemangandangan yang pastinya sangat indah. Namun sayang, hari sudah gelap. Tidak banyak yang bisa dilihat, kecuali cahaya petir yang menemani sepanjang perjalanan saya sebelum saya tertidur karena hari sudah lewat malam.
Kurang lebih jam 4 pagi, saya tersadar dari tidur karena lampu di dalam bus diyalakan. Beberapa orang penumpang turun dari bus dan mengeluarkan barang bawaan masing-masing dari tempat bagasi. Kondisi di luar masih sangat gelap sehingga sulit untuk memastikan apakah sudah sampai di tempat tujuan atau tidak. Dengan kemampuan bahasa Arab saya yang terbatas, dan kemampuan bahasa Inggris penumpang lainnya yang juga tidak terlalu jelas, akhirnya saya turun dari bus. Di luar bus, banyak supir taksi yang siap menawarkan jasa masing-masing. Saya mengeluarkan peta dan alamat hostel tempat saya menginap dan menunjukkannya ke supir taksi.
Perjalanan menaiki petit taxi, sebuah taksi kecil khas Maroko, segera dimulai. Hari masih sangat gelap, hanya ada beberapa kenderaan yang saya temui sepanjang perjalanan, sebelum tiba-tiba sang supir menghentikan taksi di sebuah jalan besar dan memberitahu kalau hostel yang saya cari terletak tidak jauh dari situ. Saya melihat ke luar, kiri dan kanan jalan dipenuhi dengan daerah pertokoan dan tidak ada sebarang tanda-tanda keberadaan hostel atau tempat penginapan yang biasa saya lihat, di tempat lain, di belahan dunia lainnya, tidak di Afrika. Saya melihat sang supir, menatap matanya sambil meminta kepastian. Sang supir berusaha meyakinkan saya kalau saya hanya perlu berjalan terus dan setelah beberapa simpang, saya akan menemukan hostel yang saya cari. Cahaya matanya meyakinkan saya kalau dia tidak berbohong dan tidak ada yang perlu ditakuti.
Akhirnya, saya memutuskan untuk keluar dari taksi dan memulai petualangan dinihari. Saya berjalan terus seperti yang disarankan sang supir. Saya berharap setelah beberapa simpang saya akan menemukan hostel yang saya cari. Tapi kenyataannya, di hadapan saya terdapat begitu banyak simpang tanpa ada nama jalan yang jelas. Daerah pertokoan itu ibarat sebuah labirin yang sangat mengelirukan. Saya coba untuk mencari papan nama Hostel Central tapi tidak menemukannya. Saya coba untuk mencari nomor 20 seperti yang tercatat di alamat hostel, tapi juga tidak menemukannya, karena kebanyakan toko disitu tidak mempunyai nomor yang jelas. Saya coba untuk bertanya orang di daerah sekitar, tapi tidak ada orang bisa saya tanya. Tidak ada, benar-benar, tidak ada.
Hari masih gelap, dan saya terus memasuki setiap simpang yang ada di hadapan saya, sambil berdoa saya akan menemukan tanda-tanda keberadaan hostel yang saya cari. Saat saya sedang berdiskusi untuk menentukan belokan seterusnya yang harus saya lewati, saya mendengar suara bunyi pintu dibuka “pletak”. Ada seorang anak muda yang keluar dan menghampiri saya.
“Do you speak English?” saya bertanya.
“Only a little” jawab anak muda tersebut sambil menggelengkan kepalanya. Dia kemudian berbicara dalam suatu bahasa yang tidak saya mengerti.