Amazing Race merupakan salah satu acara favorit saya karena penuh dengan tantangan dan adrenalin. Saya bahkan pernah mengikuti seleksi Amazing Race Asia tapi sayang sekali tidak lolos. Mungkin saya perlu lebih banyak latihan lagi. Bicara soal latihan, jalan-jalan ke Eropa kali ini penuh dengan adegan Amazing Race, baik di Belanda, Belgia, Norwegia, Spanyol maupun Portugal, mulai dari besepeda dengan kecepatan dewa sampai dengan mengejar pesawat. Saat di lapangan, perlu usaha dan yakin untuk tidak pernah menyerah sampai ke titik akhir dan alhamdulilllah, what you give, you get back, man jadda wa jadda.
Momen Amazing Race yang paling istimewa buat jalan-jalan kali ini adalah saat hari H ke Norwegia. Jadwal bus ke Bandara Bremen yang terletak di Jerman, sekitar 180 km dari kota saya berdomisili di Belanda, adalah pada jam 15.10. Saya harus menaiki bus ini untuk bisa menaiki pesaswat jam 19.00 ke Stavanger, Norwegia.
Seharusnya tidak perlu terjadi adegan Amazing Race karena saya punya cukup waktu. Jam 07.00, saya bersepeda ke kampus (rute 1) karena masih perlu menyelesaikan beberapa hal.Bersepeda santai, hanya perlu sekitar 14 menit. Jam 09.30, saya harus ke rektorat (rute 2) utuk mengadiri sidang S3 teman saya dan mengambil titipan dokumen. Saya harus bersepeda balik arah menuju ke rektorat yang terletak tidak jauh dari tempat saya tinggal. Jadwal semula, saya akan meninggalkan rektoratjam 11.00 untuk membeli perbekalan buat petualangan mendaki gunung di Norwegia, menyiapkan barang-barang dan masih mempunyai cukup waktu untuk sampai di terminal bus, 10 menit lebih awal. Tapi kenyataannya, saya baru bisa meninggalkan rektorat jam 12.00 karena terjadi antrian panjang dan cukup lama sebelum saya bisa mengucapkan selamat kepada teman saya dan mengambil titipan dokumen.
Setelah itu terjadi juga perubahan rencana karena saya harus mengambil bendera Merah Putih (rute 3) dari rumah teman saya yang lokasinya berdekatan dengan kampus. Artinya, saya harus bersepeda balik ke arah kampus. Setelah mengambil bendera Indonesia, saya buru-buru ke toko untuk membeli buah dan makanan kaleng (rute 4). Saya bahkan harus menolak undangan makan siang di tempat teman saya walaupun jujur saat itu saya merasa sangat lapar karena tidak sempat sarapan saat berangkat ke kampus paginya. Saya baru sampai di rumah jam 14.00. Saya mulai panik karena saya hanya tinggal 1 jam 10 menit dan saya masih belum makan dan mengemas barang-barang yang perlu dibawa.
Jam 14.30, saya sudah selesai mengemas barang-barang, saatnya untuk makan. Sambil menikmati mi instan yang menjadi teman setia saya di saat tidak punya banyak waktu, saya melihat kembali dokumen perjalanan saya. Semua tiket bus, kereta dan pesawat untuk semua destinasi bisa ditemukan kecuali satu; boarding pass untuk keberangkatan pesawat dari Bremen ke Stavanger. Gubrak, saya membongkar semua dokumen yang ada, nihil. Waktu menunjukkan jam 14.40, hanya tinggal 30 menit. Saya bingung, apakah harus langsung ke stasiun bus atau mencetak boarding pass terlebih dahulu dan berhadapan dengan resiko tertinggal bus.
Saya memutuskan mencetak boarding pass terlebih karena penumpang diharuskan mencetak boarding pass masing-masing. Satu-satunya tempat yang terfikirkan di kotak pemikiran saya saat itu adalah kampus karena tidak mudah mencari tempat fotokopi atau percetakan di tempat saya tinggal. Jam 14.45, saya langsung bersepeda dengan kecepatan dewa, menggunakan sepenuh kekuatan fisik dan mental untuk tetap fokus dan yakin bahwa saya bisa mencetak boarding pass saya di kampus (rute 5) dan berada di stasiun bus paling lambat jam 15.10. Kenyataannya, saya baru bisa sampai kampus jam 15.00 dan saya masih harus berlari sekitar 300 meter untuk menuju ke ruangan saya dan sudah pasti saya tidak bisa sampai ke stasiun bus jam 15.10 karena perkiraan waktu rata-rata berspeda dari kampus ke stasiun bus yang berjarak 4.4 km adalah sekitar 15 menit. Saya bingung, apakah saya harus berlari ke ruangan saya dengan kecepatan super dewa untuk mencetak boarding pass saya atau saya harus terus berangkat ke stasisun bus untuk coba mengejar bus dengan harapan bus yang akan saya naiki berbaik hati untuk menunggu saya yang sudah pasti akan sampai telat.
Panik luar biasa, saya memutuskan untuk berlari sambil menelpon teman saya untuk membuka email saya dan mencetak boarding pass yang saya perlukan. Keringat mengalir deras membashi wajah dan sekujur tubuh saya. Tas ransel yang ada di pundak terasa super berat dan sepatu gunung yang saya pakai seakan sebuah batu besar yang menghalang kaki saya dari bergerak walau selangkah. Tidak ada yang bisa menggambarkan betapa beratnya beban mental yang harus saya lewati saat itu karena saya mengejar sesuatu yang sudah hampir pasti tidak bisa dikejar. Saya hanya bisa mengandalkan sekelumit rasa yakin saya bahwa selagi saya tidak berhenti, saya pasti punya harapan walau itu hanya sebesar 0.1%.
Jam 15.05, saya bersepeda meninggalkan kampus menuju stasiun bus (rute 6). 5 menit yang tersisa seakan sebuahmomen langka yang sangat luar biasa, pertarungan antara sebuah keyakinan dan logika, harapan dan realita. Saya terus menggowes sepeda dengan kekuatan maha dewa yang meminjam kesaktian waktu, berharap akan ada keajaiban turun dari langit ketujuh. Banjir keringat sudah tidak bisa dibendung, otot dan ligamen seakan sudah haus dan menunggu waktu harus pensiun. Jam di tangan saya tutup rapat-rapat karena saya mau punya harapan dan dengan harapan itu saya berikan semua yang punya. Berhasil atau tidak, itu soal kedua.
Semakin menghampiri stasiun bus, saya bisa melihat dari jauh bahwa bus yang akan saya naiki masih ada. Bisa melihat apa yang ingin saya lihat itu rasanya seperti melihat sebuah oasis di tengah padang pasir. Saya semakin yakin bahwa malaikat utusan Tuhan ada di sisi saya. Tanpa ragu, saya parkir sepeda di tepi kanal dan terus berlari menyeberangi jembatan menuju bus impian akan yang membawa saya ke dataran Viking. Saya terus berlari walau tas ransel semakin terasa sangat berat dan sepatu gunung yang saya pakai seolah sudah menjadi semen kokoh yang terus menguras energi yang masih tersisa.
Jam 15.15, bus berangkat menuju bandara Bremen. Saya melihat ke luar jendela sambil melihat langit biru, bersyukur dengan nikmat Allah yang tak terhingga. Saya menangis, bukan karena dimarahi oleh supir bus karena menyebabkan bus berangkat telat melainkan terharu dengan rahim dan rahman Allah yang maha kuasa. Insya Allah, saya bertekad untuk menjadi hamba-Mu yang bersyukur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H