Mohon tunggu...
Muhammad Yusuf Abduh
Muhammad Yusuf Abduh Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Hanya Tuhan Yang Tahu

Selanjutnya

Tutup

Puisi

OB vs Hotel Bintang Lima

18 November 2010   02:03 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:31 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1297529721275221854

[caption id="attachment_90342" align="alignleft" width="300" caption="Dokumen pribadi"][/caption] "Otakku mengalami disfungsi temporer karena gagal menemukan korelasi rasional antara harga dan rasa sebuah minuman" Tugas malam itu lumayan menantang. Aku jadi bingung sendiri. Apa tidak salah tugas yang diberikan oleh Bos? Sekian lama aku menjadi OB, belum pernah aku disuruh melakukan tugas yang satu ini. Kalau soal menyapu, mengepel, bersih-bersih dan yang seangkatan dengannya, memang aku ahlinya. Berbicara tentang keahlian, walaupun aku hanya seorang OB, tapi aku juga punya keahlian. Tidak berbeda dengan manusia lainnya, OB juga ingin mengembangan kompetensi dan keahlian agar dapat menjadi lebih baik dan terbaik di bidangnya. Aku sangat percaya diri dengan keahlianku sebagai seorang OB yang sering disuruh-disuruh oleh Bos dan para pejabat. Tapi tugas yang satu ini memang bukan keahlianku. Malam itu, tugas yang diberikan sedikit berbeda. Tidak seperti biasanya, aku disuruh makan. Ya, makan! Gratis dan menunya pasti enak. Mungkin terdengar aneh, bagaimana mungkin seorang OB seperti aku merasa bingung disuruh makan, dan bukan sembarangan makan, gratis dan enak pula. Justru itu, ada harga yang harus dibayar. Andai saja aku disuruh makan di Warteg atau di Warung Padang, pasti aku akan dengan sangat senang hati melaksanakan tugas tersebut. Tapi, tugas yang satu ini cukup membuat aku pusing. Bagaimana tidak, aku disuruh makan di hotel. Ya, hotel!! Mendengarnya saja cukup membuat aku jadi tidak enak duduk. Kalimat yang satu ini terkesan mewah, ekslusif dan diskriminatif. Maksudku, eksekutif yang memakai dasi, jas dan sepatu hitam mengkilat pasti akan mendapatkan pelayanan yang berbeda dibandingkan wong cilik yang memakai sandal jepit, kaos oblong, dan celana robek. Ada standar ganda disitu menurutku. Apalagi kalau bintang-bintang bertaburan di segenap penjuru hotel tersebut. Sebagai seorang OB yang profesional, aku harus berani melaksanakan tugas yang diemban dengan penuh tanggungjawab. Sebelum jam 7 malam, aku sudah tiba di hotel yang dimaksud. Aku melihat ke kiri, ke kanan, dan ke kiri lagi. Aku tidak menemukan wajah tamu yang harus aku layani. Maksudku, tamu Bos, dan Bos menyuruh aku menggantikan beliau. Yang parahnya adalah Bosku sendiri tidak tahu acara makan malamnya jam berapa. "Datang saja jam 7" begitu ijtihad bosku. Sebelum jam 7 malam, aku sudah berada di lobi hotel, celingak-celinguk seperti orang udik. Ampun deh, berat sekali tugasku malam itu. Dengan penuh percaya diri, aku melangkahkan kaki menuju ke area restoran. Sudah tentunya, setelah aku bertanya kepada petugas di loket resepsionis. "Maaf Bapak, sudah melakukan reservasi?" "Belum, saya sedang menunggu teman" Jawabku dengan penuh percaya diri. Aku memilih untuk duduk di daerah paling pojok, coba menghindar dari menjadi perhatian. Aku melihat ke segenap penjuru. Aku masih belum menemukan wajah yang kucari. Wajah yang betanggungjawab atas keberadaaan aku di hotel terebut malam itu. Aku mengeluarkan ponsel, berpura-pura melihat sms dan browsing internet supaya tidak terkesan udik tidak ada kerjaan duduk sendirian di sudut restoran. Aku melirik ke semua arah. Akhirnya, itu wajahku yang cari! Wajah yang harus aku dekati untuk menyelamatkan diri dari mati kebosanan di dunia yang bukan milikku. "Hi, Leon. Do you still remember me?" Mukanya kelihatan aneh, coba-coba mengingat orang udik yang satu ini. Gawat kalau wajahku sudah terhapus dari kotak memori Leon. Aku langsung meceritakan sejarah pertemuan aku dengan Leon serta sebab dan tujuan kedatanganku. Leon mengangguk perlahan, coba meyakinkan dirinya kalau aku bukan orang udik yang mengaku sok kenal untuk dapat makan gratis. Aku menggerakkan kepala, melebarkan senyum dan sedikit mengangkat kening. "Ya, I remember you" Sukses. Misi makan gratis hampir terlaksana. Seperti biasa, sebelum makan, bertanya kabar serta membahas itu dan ini di lobi hotel terlebih dahulu. Setelah menunggu tamu yang lain dan puas basa basi, barulah acara makan malam dimulai. Ya, makan dan tugas aku akan segera selesai. Aku membuka daftar menu. Oh, tidak!!! Mahal minta ampun. Harga minuman Rp. 90 ribu, biar benar, Rp. 90 ribu!! Jari jemariku ligat berdansa membuka selembar demi selembar. Mataku terpaku. Bola mataku seolah mau tersembul keluar. Jantungku berdegup kencang, Paru-paruku sesak. Dereta nama-nama aneh dan daftar harga yang semakin melambung tinggi membuat otakku hang...taking too long to respond dalam rangka mencerna rasional mahalnya harga secangkir air. Keterlaluan, sungguh keterlaluan. Jus melon. Ya, akhirnya aku memesan jus melon. Minuman yang satu ini tidak terlalu sulit untuk aku menggambarkan seperti apa rasanya ketimbang Eye Openener. Bisa bayangkan, minuman Pembuka Mata? Oh, sungguh kreatif lagi inovatif nama minuman yang satu ini. Tapi sedikit pun tidak memancing rasa ingin tauku uang sudah terkubur jauh di dasar hatiku paling dalam. Otakku mengalami disfungsi temporer karena gagal menemukan korelasi rasional antara harga dan rasa sebuah minuman, apalagi makanan di hotel berbintang dan tidak tanggung-tanggung, hotel bintang 5. Variasi makanan dari cita rasa timur dan barat dikemas dengan segenap aspek kemewahaa membuat aku tenggelam dalam pertanyaan fundamental bahwa kita hidup untuk makan atau kita makan untuk hidup. Saat warga Bumi lainnya menderita kekurangan air bersih dan makanan bergizi, aku malah bermewah-mewah di hotel berbintang 5. Ya, belakangan baru aku tau bahwa hotel tersebut adalah hotel bintang 5. Walaupun misi malam tersebut berhasil, makan (dan minum) gratis (sambil melayani tamu Bos) tapi hotel bintang 5 itu sesungguhnya telah memberi suatu perkerjaan rumah baru buat diriku. Menemukan dimensi dan paradigma antara rasa dan harga. Andai rasa syukur dan bahagia bisa diperjual-belikan, berapa harga yang akan ditawarkan oleh para hotel berbintang?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun