[caption caption="Murid mengikuti jalannya Ujian Nasional Sekolah Dasar di SDN Palmerah 07 Pagi, Jalan Palmerah Utara, Jakarta, Senin (18/5/2015). Pelaksanaan UN akan berlangsung hingga 20 Mei mendatang dengan mata pelajaran yang diujikan Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam. | Sumber: Kompas.com"][/caption]"Sebuah Refleksi"
Mengikuti berita seputar Ujian Nasional, belum ada habisnya. Masih "seru" dan kadang benar-benar membuat gereget.
Anak saya sekarang duduk di kelas 9. Semenjak Oktober lalu, sudah dua kali menjalani TUKPD atau UCUN (semacam "try out" menjelang UN). Walaupun saya bingung, mengapa trial sudah dari Oktober? Mengapa tidak dipakai untuk belajar? Mengapa masih "mendewakan" UN? Jadi sebenarnya kadar UN yang sudah tidak lagi sebagai standar kelulusan itu berarti atau tidak ya? Mengapa masih sangat penting peringkat UN di mata sekolah-sekolah yang bernaung di bawah dinas ini? (Memang ada sekolah yang tidak bernaung di bawah dinas? ;) #pertanyaaniseng).
Walaupun sekolah anak saya sudah menjelaskan bahwa dengan diadakan trial ini maka mau tidak mau para siswa akan belajar. Saya manggut-manggut (tanda mengerti sekaligus tanda tidak habis pikir, karena, iya betul siswa belajar, tetapi belajar dari kertas soal-soal yang dibagikan beberapa hari sebelum trial tadi untuk latihan, jadi ya itulah namanya "teaching for the test").
Tahun 1985, Ebtanas pertama digaungkan, dan saya adalah angkatan pertama yang terlibat dalam Ebtanas SD (Sebelumnya apa ya? Ada yang bisa bantu mengingatkan? Yang saya tahu ada kerabat saya yang tidak lulus SMA karena tidak lulus ujian akhir dan diminta mengulang setahun lagi yang menyebabkan dia "drop out").
Dulu di awal, saya meyakini sebagai bentuk ujian yang memang menjadi syarat kelulusan siswa dalam satu level / jenjang pendidikan untuk naik ke jenjang berikutnya. Setelah dua kali Ebtanas dan menjelang Ebtanas yang ketiga di kelas SMA 3, saya memiliki pemikiran ini "hmmm, saya kan sudah diterima di salah satu perguruan tinggi, dengan peringkat 2, cicilan uang masukpun sudah dibayarkan, dan ini terjadi sebelum UN Â saya lakukan, jadi untuk apa saya ambil UN?
Ini perguruan tinggi bercanda ya masih mencari nilai UN? Jadi label peringkat 2 test masuk, apa gunanya ya? Ada yang salah nih, pikir saya". Kenyataannya, peringkat dua untuk pembayaran uang masuk yang lebih murah dari peringkat 5 :) dan ikut UN SMA untuk mengeluarkan ijasah SMA (saja).
Walaupun setelah itu, masih banyak orang yang menghibur dengan mengatakan bahwa nilai UN itu nanti untuk masuk perguruan tinggi negri, untuk masuk bla bla bla..... tetap saja saya merasa ada yang salah. PTN? kan ada SNMPTN (dulu Sipenmaru).... ah gak benar deh, begitu terus terngiang. Imbasnya? Mudah sekalilah, semangat belajar menurun (aneh ya, bagi anak lain mungkin meningkat :) ) membuat peringkat akhir SMA 3 saya turun 5 point, dari 1 (atau 2 ya?) ke 6, terlebih ada faktor lain lagi yaitu saya pun sudah bisa mencari uang sendiri dengan memiliki murid les kurang lebih 10 adik-adik kelas :) #outofrecord :D
Panggilan hidup (demikian mungkin definisinya) membawa saya kembali bersentuhan dengan guru dan UN.
Namun tetap ada hal-hal yang saya yakini bahwa belajar itu memiliki tujuan akhir beragam: