Mohon tunggu...
Hedy Lim
Hedy Lim Mohon Tunggu... Guru - Guru

Seorang pembelajar yang pernah mengajar untuk tambahan, lalu mengajar sebagai profesi dan mengajar sebagai panggilan. Apapun alasannya, selalu suka mengajar, dan sekarang (setidaknya menurut PLPG) adalah seorang guru profesional :p

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Melihat Siswa "Gen Z"

15 Desember 2023   13:51 Diperbarui: 15 Desember 2023   14:14 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.efrontlearning.com/blog/2022/12/gen-z-in-the-workplace.html

Contoh lain, pola asuh boomers menekankan struktur, disiplin, dan tanggung jawab, yang dapat menanamkan ketahanan dan etos kerja yang kuat pada anak. Namun, hal ini mungkin juga dikritik karena terlalu kaku atau membatasi, sehingga berpotensi menghambat ekspresi diri dan otonomi anak. Akibatnya, para orang tua yaitu para gen X ini, melakukan hal sebaliknya kepada anak-anaknya si gen Z. Alhasil, ada yang kebablasan, berdampak anak tidak paham disiplin merasa selalu ada pemakluman, tanggung jawab belum terbentuk, etos kerja minimal karena selalu dibantu dll. Beberapa anak dengan tipe serupa berkumpul dalam suatu kelas di usia remaja, mudah bagi kami para guru berkata "anak sekarang berbeda ya sama jaman kita dulu".

Perubahan lain bisa jadi disebabkan oleh perubahan kurikulum. Mulai dari era kurikulum 1994 yang sarat dengan muatan lokal menjelma menjadi super padat, dan berujung dikritik.

Ganti kurikulum 2004 KBK, berbasis kompetensi. Dengan ciri-ciri menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, berorientasi pada hasil belajar dan keberagaman. Kegiatan belajar menggunakan pendekatan dan metode bervariasi, sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif, saya pribadi menganggap ini kurikulum yang baik.

Lalu berganti lagi menjadi KTSP tahun 2006. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Menekankan pada desentralisasi sistem pendidikan. Pemerintah pusat menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar. Guru dituntut mampu mengembangkan sendiri silabus dan penilaian sesuai kondisi sekolah dan daerahnya. Hasil pengembangan dari semua mata pelajaran dihimpun menjadi sebuah perangkat dinamakan KTSP itu sendiri. Pernah terlibat akreditasi sekolah di era ini, namun berujung pada copy paste dokumen saja. Intinya dikembalikan pada satuan pendidikan sesuai kompetensi yang ditetapkan dari pusat. Ini cukup baik menurut saya, hanya pelaksanaan tidak sepenuhnya diserahkan kepada satuan pendidikan tapi tetap mengikuti panduan dinas pendidikan dan kekakuan ujian nasional yang tetap menguji semua daerah sama dan masih dipakai sebagai standar kelulusan. Tidak sejalan dengan namanya "tingkat satuan pendidikan" karena kenyataannya disamakan lagi satu Indonesia.

Dilanjutkan dengan kurikulum 2013. Ini kurikulum yang bagi saya memiliki KI KD dalam balutan kalimat yang kurang masuk akal, memaksakan penggabungan antara akademis dan sosial. KI berupa pengulangan kalimat yang sama di semua topik pelajaran pada KD nya. Mengapa tidak dijadikan satu list saja semua KI seperti SK (standar kompetensi di 2006)? Saya pribadi sebagai guru saat membaca KI kadang merasa kalimatnya terlalu puitis sampai saya sendiri bingung. Logikanya, guru yang bingung, imbas ke siswanya. Siswa bingung dengan perubahannya. Banyak gen Z mengalami di era kurikulum ini.

Setelah melewati kurikulum 2013 yang disisipi dengan "kurikulum 2013 yang disempurnakan" maupun "gabungan dengan KTSP", penamaan kurikulum diakhiri dengan Kurikulum Merdeka. Penamaan terakhir ini juga sarat makna. Merdeka dalam arti menyelenggarakan pendidikan di Satuan Pendidikan tetapi tetap dibatasi oleh lembaga di atas satuan pendidikan (yakni dinas pendidikan). Kemerdekaan guru yang ingin membangun sistem pengajarannya menjadi kurang disetujui karena dianggap bisa membawa tidak ada pemerataan sistem baik di internal sekolah, maupun dalam satu zona dinas pendidikan.

Fenomena merdeka dan dihapusnya Ujian Nasional saat pandemi tahun 2020 lalu satu sisi membawa pengaruh kepada daya pikir siswa gen Z ini yakni merasa tidak perlu lagi belajar. Saya tidak bermaksud mengatakan UN itu lebih baik, tetapi tanpa penyelenggaraan sistem pendidikan yang baik maka mudah sekali siswa merasa "ah mudah sekarang belajar asal saja kan tidak ada ujian nasional dan kita merdeka", "belajar sesuai minat bakat jadi yang kita tidak suka ya tidak perlu belajar". Belum lagi fenomena penilaian sekolah yang berimbas pemberian nilai kepada siswa banyak disulap demi memenuhi kriteria "sekolah lulus akreditasi". Salah kaprah kata merdeka. Pembenahan fenomena merdeka ini yang belum kelihatan sampai saat ini.

Di akhiri dengan penerimaan siswa SMA di universitas-universitas swasta yang sudah terjadi bahkan saat siswa tersebut masih duduk di kelas 11. Jadi sebagian siswa tersebut merasa benar-benar merdeka karena telah diterima di universitas jadi untuk apa melanjutkan belajar lagi, maka bisa menimbulkan suasana kurang fokus saat sedang belajar di kelas. Bukankah suatu keanehan kalau universitas sudah menerapkan hal ini? Apakah ada dampak yang mereka pikirkan? Apakah meraup siswa dari kelas 11 untuk memasukkan pendapatan sedini mungkin? Entahlah.

Lalu sebagai guru? Saya harus belajar untuk menjadi lebih bijak menghadapi perubahan-perubahan ini. Karena perubahan karakteristik siswa itu banyak faktornya dan kompleks. Satu sisi, sekolah jaman sekarang bukanlah menjadi satu-satunya kebutuhan dasar di masa pertumbuhannya. Banyak cara anak belajar. Teknologi berkembang pesat. Bayangkan, kalau kita berdakik-dakik berslogan siswa diajari dengan akhlak dan karakter, akhlak dan karakter apa yang ingin kita ajarkan? Yang diteskan sekedar teori dalam selembar kertas lalu dinilai angka 0 - 10? Yang ketat dengan unsur agama tertentu, misal ibadah doa pagi, doa pulang, ibadah mingguan, dan harus mencatat kotbah yang didengar? Apa batas antara membentuk karakter dengan capaian akademik yang ingin dicapai? Apa yang mau diajarkan ke siswa jika siswa mencapai akademis 40 lalu di rapor laporan menjadi 70 atau 80 bahkan 90 dengan kondisi tidak boleh ada siswa tinggal kelas? Apa yang mau diajarkan ke siswa tentang tanggung jawab dan tepat waktu jika gurunya di tengah-tengah minggu pembelajaran harus menghadiri segala macam bentuk pelatihan yang diadakan oleh suatu lembaga pendidikan demi mengejar syarat mengikuti pelatihan? Karakter apa yang mau dibangun dalam hubungan antara guru dan siswa jika si guru lebih disibukkan urusan administrasi kelas dan administrasi pembelajaran yang terus menerus mengulang-ulang?

Banyak yang masih perlu dibenahi. Siapkah kita selain berkutat pada "gen Z memang berbeda". Padahal dalam beberapa tahun ke depan guru level SMP - SMA akan menghadapi generasi baru lagi, generasi Alpha.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun