Namun kita tidak bisa menutup mata pada sekolah - sekolah lain (terutama swasta) yang mencoba mencari bentuk merdeka belajarnya dengan mengacu pada standar luar negeri yang dianggap telah lebih dulu berkiprah.Â
Hasil pengamatan sekilas, semakin banyak sekolah yang beralih ke jalur kurikulum dari luar negeri tersebut. Di samping juga kebutuhan akan sebuah pengakuan dari asesmen secara akademis yang masuk akal untuk bersaing dalam peringkat sekolah maupun memasukkan siswa ke perguruan tinggi, khususnya di luar negeri.Â
Jadi, kita akan makin melihat bertumbuhnya sekolah - sekolah (terutama swasta tadi) yang memakai kurikulum dari luar negeri untuk menarik minat orang tua dan siswa dengan embel - embel mengikuti perkembangan jaman.Â
Bersamaan dengan perubahan itu maka akan semakin banyak sekolah yang berbenah agar mendapat standar SPK dan sah mengadopsi kurikulum luar.Â
Apapun namanya, Sekolah Nasional Plus, Sekolah Bilingual, Sekolah SPK, Sekolah Integrasi Kurikulum, Sekolah Multiple Kurikulum, Sekolah Merdeka (tiga terakhir hanya rekayasa penamaan sendiri :) ), sejauh menjalankan kewajiban menyelenggarakan mata pelajaran Pancasila, Bahasa Indonesia dan Agama, maka eksistensinya tetap bisa bersaing secara resmi di kancah persekolahan demi kemajuan pendidikan Indonesia.Â
PR (Pekerjaan Rumah) untuk sekolah - sekolah yang sudah SPK dengan kurikulum mandiri maupun adaptasi luar negeri, dengan semakin banyak persaingan sekolah sejenis, bagaimana mempertahankan kualitas sebagai yang baik (jika bukan terbaik) agar tetap menjadi pilihan orang tua dan siswa?Â
Jika mayoritas sudah berkiblat ke pendidikan abad 21 (di mana sangat masuk akal karena kita sudah hampir di posisi tahun ke-23), faktor apa yang harus lebih ditonjolkan, sebaliknya kebiasaan apa yang harus diganti, diperbaiki atau bahkan ditinggalkan.
Â
Selamat Hari Pendidikan Nasional 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H