Mohon tunggu...
Didi Jagadita
Didi Jagadita Mohon Tunggu... Administrasi - pegawai swasta

pegawai swasta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Jangan Terjebak Karakter Dogmatis

4 Juli 2024   20:02 Diperbarui: 4 Juli 2024   20:02 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Masih ingat bagaimana kita heboh saat media memberitakan sebuah acara yang disebut Metamorfoshow: Its time to be one ummah sekitar pertengahan Februari. Banyak pihak yang tidak tahu soal acara yang digelar saat bangsa Indonesia baru menyelesaikan Pemilihan umum Presiden (Pilpres) dan Pemilihan Legislatif (Pileg) dan dianggap kecolongan.

Acara itu diduga diinisiasi oleh eks para tokoh Hisbut Tahrir Indonesia (HTI) sebuah organisasi kemasyarakatan yang sudah dibubarkan pemerintah, dalam hal ini Menkopolkam Wiranto karena organisasi ini dianggap  bernuansa negatif dan bertentangan dengan dasar dan fislofofi negara. Bahkan  HTI berani menyebut pemerintah thagut, yang berarti sesat.

Acara yang secara resmi dilaporkan kepada pihak pemilik gedung (TMII) dan pihak kepolisian sebagai peringatan Isra Mikraj 1445 H, ternyata memang dihadiri oleh beberapa aktivis HTI, seperti mantan Jubir HTI Ismail Yusanto, Influencer Gen Z HTI M Ihsan Akbar, dan Produser Dokusinema Sejarah Islam 'Jejak Khilafah di Nusantara' Akhmad Adiasta. Kegiatan dihadiri 1.200 orang dan kebanyakan dari mereka adalah generasi muda.

Kejadian ini merupakan bukti bahwa sekalipun organisasi itu dibubarkan namun  mereka seakan tak gentar selalu menyuarakan soal kekhilafahan. Bahkan beberapa waktu lalu, muncul video eks. HTI menyoal aktivitas dakwah HTI, soal khilafah utamanya, yang tetap aktif meskipun tanpa badan hukum.

Mereka berani melakukan itu semua mengingat karakter umat beragama masih sangat rentan terjebak dalam praktek yang dogmatis. Secara teori jika agama lebih difamani dari sisi dogmatis atau lebih spesifik lagi agama difahami secara tekstual dan bukan kontekstual serta ritualistik dan simbolik, maka pertentangan mudah sekali muncul serta akan mudah memicu konflik dan kekerasan.

Dalam sejarah bangsa kita dimana kita pernah alami kekerasan yang berbasis sentimen agama  seperti Bom Bali satu dan dua, beberapa bom di Jakarta dan beberapa daerah dan terakhir dan cukup dahsyat adalah bom di Surabaya  enam tahun lalu.

Kekerasan berbasis keagamaan selalu berangkat dari keinginan untuk menjaga marwah; ambisi untuk "menjaga" simbolisme yang ketat dan kaku ini. Konflik bernuansa agama lebih bisa terjadi karena fanatisme dan intoleransi.

Karena itu, ini semua adalah tantangan kita semua untuk menghilangkan paling tidak, mengurangi  sekat dan penafsiran tekstual serta karakter dogmatis, sehingga kita bisa tetap menjadi negara kesatuan republik Indoensia, tanpa kekhilafahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun