Mohon tunggu...
Didi Jagadita
Didi Jagadita Mohon Tunggu... Administrasi - pegawai swasta

pegawai swasta

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pentingnya Waspada Terhadap Hulu Radikalisme

23 Desember 2023   05:13 Diperbarui: 23 Desember 2023   05:23 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam lima tahun ini kita merasa bahwa aksi teror sudah menurun drastis. Meski dengan catatan bahwa bom Surabaya adalah bom yang spektakuler dalam dekade ini. Hal ini diperburuk dengan pelaku merupakan satu keluarga, dari sang ayah sampai anak terakhirnya yang masih dibawah 10 tahun.

Dan pada dua minggu sebelum perayaan Natal dan Tahun Baru, tepatnya 14 Desember 2023, Densus 88 Antiteror menangkap sembilan orang terduga teroris Jemaah Islamiyah (JI) di daerah Sukoharjo, Sragen, Klaten, dan Boyolali. Artinya meski ABB yang dulu merupakan tokoh dari JI sudah menyatakan diri kembali ke Pancasila dan UUD 1945 namun

Penangkapan tersebut mengindikasikan bahwa jaringan terorisme masih bergerak dan menunggu momentum untuk melakukan aksi. Penangkapan terhadap aktor teror penting untuk dilakukan, terlebih aktor terorisme selalu punya rencana aksi radikal seperti sasaran atau target tertentu. Kita bisa lihat ini pada kejadian bom natal di masa-masa lalu dimana para aktor memang sudah menunjukkan rencananya dengan sangat rapi.

Dari kesemuanya itu, penting bagi kita juga untuk memperhatikan proses radikal itu berjalan. Bagai sebuah proses ada hulu sampai hilir. Hulu dari terorisme adalah literasi keagamaan (semua agama). Proses literasi agama yang terjadi di masa lalu itu berjalan biasa dan normal, kini mengalami percepatan yang luiar biasa karena adanya teknologi. Seseorang bisa mendapatkan literasi agama dari bermacam aliran hanya dengan satu kali klik. Literasi agama itu makin diperkuat jika dia ada dalam sirkel tertentu. Jika ada di sirkel moderat, maka literasi agamnya bersifat moderat dan akan cenderung menghargai perbedaan. Namun sebaliknya, jika sirkel agamanya konservatif maka dipastikan literasi agamanya akan bersifat intoleran dan kemudian mengarah ke radikal.

Fenomena inilah yang membuat "cita-cita" pembentukan Negara berdasar syariat Islam selalu ada. Kita ambil contoh, Negara Islam Indonesia (NII) yang dulu digagas oleh Kartosuwiryo. Meski sudah dibubarkan pada masa presiden Soekarno, tapi senantiasa hidup dan "dipelihara" di sirkel-sirkel tertentu, termasuk sirkel radikal yang selalu menggugat Pancasila dan diiganti oleh syariat Islam sebagai dasar negara. Teknologi informasi membuat itu semua menjadi mungkin.

Inilah jadi tantangan tersendiri bagi kita yang sudah selesai soal perdebatan Pancasila sebagai dasar negara atau syariat Islam menjadi landasan kita bernegara. Karena itu kita harus tetap mewaspadai proses radikal itu berjalan, yaitu dari hulu sampai hilir.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun