Mohon tunggu...
Didi Jagadita
Didi Jagadita Mohon Tunggu... Administrasi - pegawai swasta

pegawai swasta

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Desember, Kita, dan Riyanto

21 Desember 2022   04:08 Diperbarui: 21 Desember 2022   04:15 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Menjelang hari raya umat Kristiani, time line beberapa orang mungkin penuh dengan gambar seorang pemuda Nahdatul Ulama (NU) dengan atribut Banser (Barisan Ansor Serba Guna NU)- sebuah sayap NU yang bersifat paramiliter dai orbanisasi pemuda Gerakan Pemuda Ansor NU,

Apalagi jika kita klik Google trends maka yang yang muncul adalah Banser Riyanto. Kata kunci ini mungkin akan lebih meningkat lagi saat menjelang Natal. Bagia beberapa pihak, siapakah Riyanto ini, seberapa penting dia, apakah memang layak untuk dikenang ?

Riyanto dan keluarganya mungkin tidak menyangka bahwa kejadian malam Natal sekitar 21 tahun lalu itu diingat oleh sebagian warga Indonesia, khususnya umat Kristiani dan para warga NU. Riyanto juga menjadi salah satu nama jalan di kabupaten Mojokerto Jawa Timur, tempat kelahirannya.

Cerita tentang Riyanto mungkin bisa anda cari melalui mesin pencari. Cerita yang ditulis oleh banyak Media dan oleh NU sendiri mencerminkan bahwa kejadian dan semangat Riyanto  untuk melindungi kaum yang berbeda bahkan dengan nyawa. Ini jelas melebihi pengertian tetang toleransi itu sendiri.

Yang dilakukan Riyanto adalah bukan slogan dan basabasi, tapi berkomitmen untuk saling menghargai menghormati, menjaga bahkan melindungi. Visi dan semangatnya mungkin melampaui para intelektual, tokoh agama dan para politisi yang menyola toleransi hanya sekadar kata-kata.

Bungkusan hitam yang berisi kabel itu dibuangnya di tempat sampah namun karena dilihatnya lmasih dekat dengan umat, dia berusaha membuangnya di seberang jalan, namun bungkusan itu keburu meledak dan menghabisi nyawanya. Bukan saja NU dan Ansor yang berduka, namun umat Kristiani juga berduka.

Tapi yang sering kita lihat dalam keseharian kita adalah rasa berjarang yang mengarah pada intoleransi. Pluralisme tak lagi dilihat sebagai hal positif tapi banyak kisah yang malah memperuncing perbedaan itu sendiri. Tidak hanya di lingkungan kerja namun di lingkup pendidikan bahkan media sosial. Para tokoh agama yang dianggap kekinian bahkan sering mengumbar rasa benci ke kaum yang berbeda.

Banyak hal yang harus kita ubah. Tidak ada yang salah jika kita harus belajar dari seorang Riyanto. Agama tidak diadakan untuk mengumbar kebencian. Agama diciptakan Allah untuk saling mencintai dan menghormati antar sesama. Semoga kedepannya, bangs akita membaik dan Desember tidak identic dengan bom Natal lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun