Mungkin banyak dari pembaca yang tidak asing dengan istilah LPDP di dunia pendidikan Indonesia. Lembaga Pengelola Dana Pendidikan atau disingkat LPDP merupakan lembaga di bawah naungan Kementerian Keuangan dengan berbagai program pengelolaan dana (investasi), pendanaan riset hingga yang paling sering kita dengar adalah program beasiswanya yang dapat diterima untuk melanjutkan pendidikan tinggi baik dalam maupun luar negeri.
Tentunya pendidikan menjadi salah satu sektor yang sangat penting dalam kemajuan bangsa kita dengan mengembangkan sumber daya manusia yang unggul di mana negara ikut terlibat di dalamnya melalui program-program beasiswa yang ditawarkan oleh LPDP kepada penerima beasiswa atau awardee yang mana mereka kemudian dapat berkontribusi di bidang profesionalnya masing-masing. Lantas, apa yang menjadi kontroversi dengan beasiswa LPDP ini?
Ketika membuka lini masa Twitter/X hari ini saya disuguhkan dengan berbagai cuitan tentang beberapa kasus awardee yang menerima beasiswa pendidikan ke luar negeri yang tidak kembali ke Indonesia dan menetap di negara mereka belajar atau bahkan berencana untuk pindah kewarganegaraan. Hal ini mencuat dari kabar bahwa Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemendiktisaintek) menurut Wakil Menteri, Stella Christie yang berencana mengkaji ulang manfaat dan keoptimalan beasiswa LPDP yang diberikan selama ini. Kabar ini menimbulkan tanggapan yang beragam, hingga munculnya lagi kasus para awardee yang dianggap 'kabur' dari tanggung jawabnya untuk kembali pulang ke tanah air dan membaktikan hasil pendidikan yang dienyamnya selama di luar negeri.
Kontroversi ini bukanlah hal yang baru karena beberapa tahun belakangan juga terjadi kasus-kasus serupa. Program beasiswa LPDP luar negeri ini seolah menjadi loophole bagi mereka yang ingin memanfaatkan pendidikan dan uang saku dari negara untuk menikmati hidup yang lebih baik di negara yang dituju tanpa ingat tujuannya untuk pulang. Beberapa alasan mengapa mereka enggan untuk pulang ke Indonesia diantaranya peluang kerja yang sedikit bagi profesinya atau penghasilan atau gaji yang tidak sebesar di luar negeri hingga sudah nyamannya mereka dengan kehidupan di luar negeri dan membandingkannya dengan kehidupan di Indonesia tentunya bukan pertanyaan yang sulit untuk dijawab.
Reaksi saya sama dengan banyak pengguna Twitter/X yang menyinggung dan mengkritik hal ini sebagai sesuatu yang sangat problematik dan berulang kali terjadi tanpa ada konsekuensi yang jelas pada mereka. LPDP sendiri didanai oleh APBN yang banyak sedikitnya kita sebagai warga negara berkontribusi juga melalui pajak untuk mereka dapat berkuliah ke luar negeri. Sehingga wajar adanya bagi kita untuk mengkritik hal ini.
Sangat ironis melihat betapa masih jomplangnya kualitas pendidikan dan kehidupan guru-guru di negara kita, belum lagi belakangan soal biaya perguruan tinggi dalam negeri yang semakin di luar jangkauan banyak orang, sedangkan mereka yang dipercaya negara dan memiliki kesempatan emas malah seolah membalikkan badan, menutup mata dan telinganya untuk kepentingan pribadi. Beberapa cuitan juga menceritakan kasus pemberian beasiswa LPDP yang tidak tepat sasaran, di mana orang-orang yang memiliki kemampuan ekonomi lebih mampu yang malah mendapatkan beasiswanya. Bayangkan saja anggaran LPDP yang tidak sedikit setiap tahunnya untuk pendidikan luar negeri disalahgunakan oleh orang yang tidak tepat ketika banyak orang-orang yang lebih berhak mendapatkannya.
Padahal banyak program beasiswa luar negeri yang menawarkan beasiswa hingga biaya hidup tanpa mengharuskan penerimanya untuk kembali ke negaranya, namun mengapa yang dipilih LPDP?
Perlu saya garis bawahi bahwa tidak semua awardee LPDP yang melakukan hal yang disayangkan ini, karena banyak juga dari mereka yang telah menyelesaikan program pendidikannya di luar negeri dan pulang untuk membaktikan ilmunya kembali di Indonesia. Rencana pengkajian beasiswa LPDP ini adalah salah satu jalan yang mungkin dapat memperbaiki dan mengoptimalkan program ini sehingga lebih berkeadilan dan tepat sasaran lagi ke depannya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H