Kesalahan memang wajar dilakukan oleh siapapun, namun jika kesalahan tersebut dilakukan setelah ada yang mengingatkan, bisa jadi perdebatan apakah memang pihak tersebut khilaf untuk kedua kalinya atau memutuskan untuk pura-pura tidak tahu. Politik berpotensi menimbulkan kesalahan yang tidak akan diakui sebagai kesalahan karena berbagai kepentingan. Meski tidak diakui, perbedaan sikap politik yang drastis tetap akan menuai kritik dan pertanyaan besar, sebenermya ni orang/partai maunya apa sih?
Pertanyaan ini patut kita ajukan pada PKS (Partai Keadilan Sejahtera) dahulu saya sempat kagum dengan sikap salah satu Partai Islam di Indonesia ini. PKS menegaskan tidak masalah memilih pemimpin non-muslim, karena Ahlu Dzimmah (non-muslim) memiliki ruang-ruang yang dapat mereka tempati dalam pemerintahan, bahkan dalam pemerintahan Islam sekalipun.
Konteks Indonesia adalah negara demokrasi, ruang bagi non-muslim untuk menjabat lebih terbuka dan fleksibel. Namun jika dilihat dari hasil ijtihad para dewan PKS, Ahlu Dzimmah boleh menduduki jabatan yang tidak berhubungan dengan keputusan umum. Dalam Islam dibedakan ada dua Kementerian yaitu Tanfidz (Pelaksana) dan Tafwidh (Pendelegasi). Ahlu Dzimmah boleh menempati posisi Tanfidz dengan syarat loyal, berkompeten, setia pada negara dan memiliki pendamping yang beragama muslim.
Namun, semudah membalikkan telapak tangan, saat Pilkada DKI bergulir PKS menggembar-gemborkan Calon Pemimpin non-muslim tidak boleh dipilih dan harus memilih pemimpin yang seiman. Jika melihat persyaratan mengenai pengangkatan Ahlu Dzimmah dalam bidang Tanfidz, Gubernur tidak memiliki kuasa untuk menentukan kebijakan umum seperti kebijakan keagamaan, militer dan pertahanan. Entah lupa atau pura-pura lupa, PKS mengabaikan ijtihad yang telah mereka lakukan demi kepentingan politik.
PKS bahkan semakin merapat pada ormas-ormas Radikal yang tidak pernah mau melakukan proses Ijtihad, padahal Islam mengajarkan agar kita moderat dan tidak menggunakan kacamata kuda dalam menghadapi perubahan jaman. PKS seharusnya ikut serta membimbing umat melalui proses Ijtihad untuk memberikan pencerahan dan arahan kepada Umat Islam Indonesia.
Sekarang PKS malah ikut mempromosikan paham tentang tidak memberikan ruang sedikitpun bagi Ahlu Dzimmah dalam pemerintahan. Tentu hal ini salah, meski membutuhkan suara dan dukungan untuk meraih suara dan elektabilitas, tidak selayaknya PKS mengabaikan kepentingan Umat dan mendekat pada Ormas Radikal yang seringkali memicu perpecahan.
Jika dilihat dari ijtihad yang dilakukan sendiri oleh PKS, tidak ada salahnya ada Calon Gubernur non-muslim. Pertama, ia terbukti loyal, kedua, ia terbukti kompeten, ketiga, ia terbukti setia pada negara dan keempat, ia didampingi oleh seorang pendamping yang beragama Islam. Sikap Hipokrit PKS menunjukkan sikap politik mereka (Paslon nomor 3) demi mendulang suara dan mengabaikan prinsip-prinsip yang telah mereka jalani selama ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H