Mohon tunggu...
Hedi Purnomo
Hedi Purnomo Mohon Tunggu... Entrepreneur, Karyawan Swasta -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Paradoks Populisme Pilkada DKI

26 Januari 2017   12:04 Diperbarui: 26 Januari 2017   12:14 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
haricandra.blogspot.com

Kekerasan berbau SARA berkedok Fundamentalisme agama semakin kental terasa menjelang konstelasi Pilkada DKI 2017. Faktor apakah yang menjadi penyebabya? Murni Gerakan Aksi Massa, Perang para elitis atau pemegang modal, atau diskriminasi suatu pihak kepada pihak lainnya? Intoleransi tidak boleh kita tolerir, begitulah paham yang diajarkan Multikulturalisme dan Pluralisme yang ‘katanya’ diterapkan secara serius di Republik Tercinta ini.

Intoleransi para kaum Fundamentalis semakin menjadi, gerakan mereka seolah tak terbendung. Entah kenapa banyak sekali publik yang mudah terhasut untuk menghujat dan menyerang satu sama lain. Parahnya, banyak perkumpulan sosial bahkan hubungan keluarga yang renggang akibat pilihan politik yang berbeda. Kelewatan, sungguh kelewatan. Ranah politik Elektoral tidak sepantasnya mempengaruhi ranah Netral-Normatif dan ranah privat ruang publik.

Fenomena Banal ini menunjukkan adanya teror berlebihan dari pihak-pihak Fundamentalis Agama kepada pihak-pihak  yang mereka cap sebagai lawan politik. Opresi ini bertindak serius, banyak penduduk Jakarta yang kehilangan hak aspirasinya. Banyak sekali pihak yang ‘takut’ memakai atau mem-posting atribut Pasangan Calon tertentu karena intimidasi para Fundamentalis Agama ada di dunia nyata dan dunia maya.

Kriminalisasi terhadap aspirasi politik ruang publik coba diputarbalikkan oleh kaum Fundamentalis Agama dengan stigma paradoksial. Mereka berdalih apa yang mereka lakukan (Demo besar-besaran, aksi kekerasan, penindasan dan penutupan Jalan) juga bentuk aspirasi yang dijamin oleh Undang-Undang. Segala paham tentang ‘kebebasan berpendapat’ mereka lakukan sesuai pola pikir mereka tanpa memikirkan dalam melakukan kebebasan berpendapat ada kebebasan orang lain yang menjadi batas bagi segala pergerakan dan tindakan kita.

Sudah saatnya pihak-pihak yang selama ini mengalami opresi menunjukkan bahwa hak-hak demokrasi dan aspirasi masih dijamin oleh Undang-Undang. Untuk lebih memperjelas masalah ini, segenap pendukung Basuki-Djarot sudah saatnya menunjukkan keberpihakan dan posisi politik mereka pada ruang publik dan membuktikan kriminalisasi melalui kasus SARA yang terkesan dipolitisasi tidak akan mempengaruhi hak-hak politik mereka dalam ruang publik.

Himbauan serupa pun ditegaskan oleh politisi dan juga Tim Sukses yang paham betul kondisi permainan politik menjelang Pilkada DKI. Sys Ns dan Maruarar Sirait menghimbau agar para pendukung, relawan dan simpatisan tidak usah takut akan ancaman dan opresi yang dilakukan pihak-pihak tertentu. diskriminasi politik yang dilakukan pihak lawan pun sudah selayaknya disikapi dengan santun dan sabar agar tidak memperkeruh suasana.

Saya rasa penjelasan dan contoh kasus ini sudah cocok untuk menggambarkan secara abstrak apa yang sedang terjadi dibalik pertarungan politik Pilkada dan menunjukkan secara Material Aplikatif fenomena dan diskriminasi politik apa yang sedang terjadi di Jakarta. Tentu saja masalah diskriminasi dan intoleransi tidak bisa kita biarkan berlarut-larut demi terciptanya kontestasi politik yang normatif, bukan dengan cara barbar seperti yang dilakukan kaum-kaum Fundamentalis.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun