Setahun yang lalu tepatnya di bulan Agustus 2019, dunia perkomikan dan perkartunan kehilangan seorang yang berpengaruh melalui karyanya di sebuah media massa terkemukan di negeri ini. Dikenal dengan panggilan Dwi koen, nama Dwi Koen ini tidak lepas dari karyanya berupa komik kartun atau umumnya dikenal dengan komik strip Panji Koming.
Panji Koming merupakan sebuah komik strip karya kartunis Dwi Koendoro yang secara berkala diterbitkan surat kabar Kompas edisi Minggu. Nama komik ini berasal dari nama karakter utamanya yaitu Panji Koming, berasal dari singkatan 'Kompas Minggu'.Â
Komik strip panji Koming hadir dengan kritik sosial pada pemerintah yang kemudian dituangkan secara satir dan mengandung makna konotatif. Pihak pemerintah yang saat itu sangat ketat mengawasi pergerakan media massa dan pers merasa tidak terganggu dengan sindiran yang dituangkan dalam komik strip Panji Koming, terkadang humor-humor yang disajikan sepertinya disajikan untuk mentertawakan diri sendiri.Â
 Komik ini sangat fenomenal dengan pesan-pesan satirnya, yang mengawali kemunculannya pada era pemerintahan Orde Baru, dimana saat itu hak bersuara atau berpendapat masyarakat terutama pers dan media sangatlah dibatasi kebebasannya.Â
Dwi Koen menuangkan pesan sosial, kritikan politik dan keresahan akan kondisi negerinya pada saat itu. disini Dwi Koen menunjukkan sebuah kreativitas yang dilakukannya, melalui Panji Koming dalam bentuk komik strip, Dwi Koen menyampaikan kritikan dan sindiran mengena dengan cara yang santun menggunakan gaya humor.
Panji Koming memiliki keistimewaan sekaligus keunikan tersendiri dalam kontennya bila dibandingkan dengan komik-komik strip lainnya. Kondisi dan peristiwa sosial politik di Indonesia dibuat dalam penggalan cerita berisi pesan-pesan satir yang mengena, tetapi disuguhkan dengan gaya humor. Pemerintahan pada saat itu tidak terbantahkan mampu menutup ruang-ruang yang akan menyentuh atau menggoyang kekuasaannya. Namun Dwi Koendoro (Dwi Koen) mampu menghadirkan pesan-pesan berupa sindiran, dan satir melalui karakter-karakter yang berperan dalam komik strip Panji Koming.
Selain hal tersebut situasi dan kondisi serta peristiwa sosial politik di Indonesia saat itu selalu dapat diamati secara kritis dan reflektif oleh Dwi Koen serta mampu menerapkannya dalam peran dengan gaya bahasa visual yang komikal. Sensasi utama yang dihadirkan dalam komik strip Panji Koming adalah  mampu mengundang tawa sekaligus menggelitik pikiran pembaca, bahkan hingga saat ini komik strip Panji Koming mampu bertahan menembus dua era pemerintahan di negeri ini.
Sejak awal kemunculannya pada tahun 1979 itu, ada dua periode yang menarik yaitu periode Orde Baru dan periode Reformasi. Untuk menyikapi kedua periode tersebut, Dwi Koen harus mempertimbangkan dan menyesuaikan dengan situasi dan kondisi pemerintahan yang berbeda di kedua periode tersebut.
Panji Koming Periode Orde BaruÂ
Di masa Orde Baru Panji koming terpaksa slimpetan, cenderung tiarap dan serba samar. Karena ada  hal yang tidak boleh di kritik pada era Orde Baru, kalau berani mengkritiknya bisa celaka. Lantas berdasarkan rembukan dengan team kerjanya, Dwi Koen mencoba membuat plot dan simbolisasinya dalam Panji Koming, agar tak terlalu "telanjang", seperti yang dituliskan oleh Darminto M Sudharmo Dartimto's pepers maret 2009 silam. Ada hal lain yang merangsangnya sejak era Orde Baru, yaitu kemungkinan untuk menampilkan wujud-wujud kartunal para pejabat negeri ini untuk dilibatkan dalam lakon  komik kartunnya, namun hal itu diurungkannya dari pada kena bredel oleh para penguasa negeri.
Solusi paling aman dalam penggarapan Panji Koming ini supaya bisa menampilkan tokoh elite penguasa negeri ini, GM Sudarta mengusulkan tokoh atagonis Bhre Ariakendor untuk mewakili para pejabat tersebut, kemudian dikenal dengan Denmas Aria Kendor yang selalu dikorbankan sebagai tokoh antagonis.  Denmas Aria Kendor ini muncul dengan karakteristik yang unik baik secara ciri fisiknya maupun perilakunya yang kerap mengundang tawa. Karakter ini adalah seorang pejabat kelas rendah kerajaan Majapahit yang merasa dirinya adalah penguasa negeri, Denmas Aria Kendor  mempunyai sifat yang dapat dilihat melalui ekspresi dan sikap tubuhnya yang mengesankan seorang pejabat yang angkuh, otoriter dan mementingkan dirinya sendiri, hingga menganggap bahwa ucapannya adalah perintah.