Salah satu program Kementrian Kesehatan adalah Nusantara Sehat. Program ini bertujuan untuk menguatkan layanan kesehatan primer melalui peningkatan akses dan kualitas pelayanan kesehatan dasar. Oleh karena itu, tenaga kesehatan dikirim ke pelosok-pelosok negeri untuk mengabdi dan melayani di sana.
Salah satunya dari tenaga kesehatan tersebut adalah Oktofianus Radja Tuka, S.KM atau yang lebih akrab di sapa Okto. Dia berasal dari kampus Universitas nusa Cendana Kupang, Fakultas Kesehatan Masyarkat, jurusan Epidemiologi dan Biostatistika. Jika sesuai Permenkes 43 tahun 2019, ia berposisi sebagai tenaga promosi kesehatan. Tapi saat berada di lapangan, Okto bertugas sebagai tenaga surveillance.
Dari September 2019 sampai September 2021, Okto pernah bertugas di Maluku utara, tepatnya di Puskesmas Patlean, Kabupaten Halmahera timur. Jarak tempuh dari pusat kabupaten ke Puskesmas adalah kurang lebih 12 jam dan harus menggunakan alat transportasi berupa perahu kayu. Masyarakat biasanya menggunakannya untuk memuat kopra untuk dijual di kota Tobelo, Halmahera utara.
Memang lebih mudah untuk mengakses ke Kabupaten lain, dibanding ke ibukota kabupaten sendiri. Jadi jika ingin berbelanja, Okto dan teman-temannya cenderung akan pergi ke Tobelo. Hal yang cukup mencengankan adalah tidak ada dermaga di Platean itu. Jadi, perahu kayunya biasanya akan berlabuh di tengah laut. Jika air laut  surut, maka Okto dan teman-temannya harus turun dari perahu  agar bisa pelan-pelan berjalan ke pantai.
Puskesmas Patlean memiliki 8 wilayah kerja yang terdiri dari 4  desa, 3 SP dan 1 dusun. Menurut Okto, di daerah dusun tersebut, kehidupan masyarakatnya masih sangat primitif. Masyarakat lain di sana menyebut dusun itu, "suku susah berbahasa Indonesia".  Alasannya karena dulunya mereka masih sulit membuka diri. Namun secara perlahanan, kini mereka  sudah sedikit bisa bergaul dan berbaur dengan yang lain. Hanya saja, karena bahasa Indonesia tidak bisa digunakan, jadi mereka menggunakan bahasa Tobelo dalam kehidupan sehari-hari.
Okto mengakui bahwa jika ingin melakukan pelayanan ke sana mereka butuh penerjemah yakni bapak Dusun setempat. Kendati demikian, mereka masih meraas nyaman dan betah hidup di alam. Karena itulah rumah mereka yang di buat oleh pemerintah, sangat jarang mereka tempati.
Terdapat satu desa yang bernama desa Jara Jara. Aksesnya hanya bisa lewat jalur laut menggunakan perahu lebih kecil, yang biasa disebut fiber oleh orang-orang sekitar. Jarak tempuhnya sekitar  30 menit. Namun jika gelombang air laut sedang tinggi, maka mereka tidak bisa lewat.
Terdapat juga jalan darat, tetapi  hanya orang berkemampuan mengemudi bagus saja yang bisa melaluinya. Jadi jika terdapat gelombang air laut yang tinggi, pelayanan kesehatan seakan terputus ke desa itu. Jika dibayangkan, hal tersebut cukup mengkhawatirkan. Apalagi bila terjadi keadaan gawat darurat.