Â
Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup Siti Nurbaya masih termasuk orang yang percaya bahwa kebakaran hutan di Indonesia karena kebiasaan para petani yang membuka lahan dengan cara membakar lahan (Nasional.Kompas.com/7 September 2015), yang merupakan pandangan lama hingga ada larangan pembakaran lahan, seperti di Kalimantan Selatan. Ini tragedi pengetahuan, terutama bagi para peladang/petani di daerah, yang dikatakan menteri bahwa pembakaran lahan ramah lingkungan bagi para petani tak terjangkau karena mahal. Sehingga kebakaran lahan terjadi akibat para peladang/petani tak mempunyai modal untuk membuka lahan dengan cara yang baik. yang akhirnya pengolahan lahan dilarang menggunakan cara pembakaran.Â
Larangan ini berlaku bagi semua kalangan, tanpa kecuali. Larangan ini muncul bagai halilintar di siang bolong bagi masyarakat adat, yang menggoncang kebiasaan nenek moyang mereka, yang merupakan pengetahuan lokal (indigenous knowledge) yang mereka miliki dalam pengolahan lahan. Â Padahal musim kemarau, biasanya merupakan waktu untuk melakukan pembakaran serasah bagi para petani. Cara pembakaran ini sudah dilakukan secara turun-temurun, sejak beberapa generasi sebelumnya, yang merupakan bagian dari budaya mereka.Â
Pemerintah daerah khususnya, perlu memperhatikan keragaman budaya daerahnya dalam membuat suatu kebijakan, seperti larangan pembakaran lahan bagi petani/peladang. Karena, pengolahan lahan yang dilakukan oleh petani/peladang dengan menggunakan api (indigenous use of fire) berdasarkan pengetahuan lokal (indigenous knewledge). Masyarakat ini menggunakan api sangat jauh berbeda dengan perkebunan modern yang melakukan pembakaran untuk membuat keseragaman yang sangat luas pada suatu ekosistem.
Tahapan pembakaran dalam pengolahan lahan oleh masyarakat lokal dianggap sangat penting, karena berdasarkan pengalaman mereka dalam mengolah lahan pembakaran dapat membantu kesuburan tanaman.  Berdasarkan Mertz dan Magid (2000; http://www.geogr.ku.dk) bahwa pembakaran meningkatkan ketersediaan P karena pH meningkat, dan kemudian pH tends to drop relatively fast with subsequent P-immobilisation. Sementara kehilangan N selama pembakaran menjadi tidak begitu penting karena masih terdapat di dalam bahan organik tanah melalui mineralisasi setelah pembakaran. Di samping itu, pembakaran dapat membantu dalam pengedalian hama, sebagaimana digambarkan oleh Nurse et al. (1994) bahwa masyarakat area Kilum di Kamerun Afrika menggunakan api untuk promote new grass growth and for parasite control. Di Sumbawa, penggunaan api untuk membuat padang rumput dan menjaga populasi wild herbivores pada level yang tidak mengganggu padang rumput tersebut, sehingga bermanfaat  bagi pemburu dan keanekaragaman hayati (biodiversity).Â
Analisis terhadap sebaran hotspots, menggunakan satelit, Stolle et al (1998) menemukan bahwa kejadian  paling rendah (lowest incidence) dari kebakaran yang terjadi umumnya di area  yang digunakan masyarakat tradisional atau perladangan berpindah (shifting cultivation). Hal ini menunjukkan penggunaan api oleh masyarakat tradisional adalah memang efektif, dan menunjukkan bahwa mereka mempunyai managemen pembakaran yang dapat dipertanggungjawabkan.Â
Oleh karena itu, pembakaran lahan yang dilakukan masyarakat lokal  dalam mengolah lahan perlu dipandang berdasarkan pengetahuan lokal (indigenous knowledge) yang mereka miliki. Di mana, penggunaan api oleh masyarakat tradisional bukan hanya ada di Indonesia, seperti Kalimantan, tapi juga dilakukan oleh masyarakat di belahan bumi lainnya. Masyarakat Aborijin  di central dan northern Australia memodifikasi habitat lokal yang merupakan ekosistem subtropikal dengan menggunakan pembakaran. Jadi, tahapan pembakaran dalam pengolahan lahan oleh masyarakat tradisional seperti di areal persawahan, perladangan dan kebun masyarakat harus dipandang sebagai suatu tahapan yang penting untuk kelangsungan keragaman budaya. Tahapan pembakaran tersebut tidak kuat dan valid untuk dijadikan sebab terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang disertai dengan kabut asap.Â
Sebagaimana Neil Byron (pers comm. April 1998) melaporkan bahwa meskipun kebakaran menghancurkan kurang lebih 30,000 ha lahan perkebunan di Indonesia tahun 1997, tetapi hanya 30 ha terjadi kebakaran hutan yang dikelola oleh masyarakat tradisional. Byron menyimpulkan bahwa masyarakat tradisional sangat kecil menjadi sebab kebakaran hutan dan  handal dalam mengontrol pembakaran di area mereka. Hal yang sama ditemukan Alberto Chincilla (pers comm. Agustus 1998) di Amerika Tengah, di mana 1,480,000 ha area hutan yang terbakar antara Desember 1997 dan Mei 1998, sangat kecil yang terjadi pada hutan yang dikelola masyarakat lokal. Begitu juga di Nepal pada tahun 1993, kebakaran besar yang terjadi kebanyakan berada di national forest land dan  kurang dari 0.1 persen berada pada pengelolaan masyarakat lokal. Semua ini mengatakan bahwa masyarakat lokal/tradisional lebih sedikit yang menyebabkan kebakaran hutan, dan bila terjadi kebakaran, maka masyarakat lokal mampu melakukan quick response (Fisher dan Jackson, 1998).
Sehingga yang perlu mendapat perhatian semua pihak adalah 1) pembakaran di areal perusahaan perkebunan modern dengan skala yang sangat luas, 2) pembakaran dan/atau kebakaran di areal lahan tidur yang bisa berupa semak belukar dan areal gambut, dan 3) hutan yang mengalami degradasi baik wilayah dataran tinggi maupun wilayah gambut. Karena, ketiga areal ini mempunyai potensi yang besar terjadinya kebakaran. Terutama wilayah hutan gambut yang mengalami gangguan manusia, yang sangat sulit dalam pengendalian kebakarannya dan lebih banyak menghasilkan asap, karena kebakaran bisa menjalar melalui ronggo-ronggo di bawah permukaan yang terbentuk dari serasah dan pelapukan bahan organik.Â
Jadi, larangan pembakaran lahan pada musim kemarau untuk mengantisipasi terjadi kebakaran hutan dan lahan perlu dibuat ketentuan yang sesuai dengan tujuannya. Larangan tersebut perlu ditujukan pada sasaran yang tepat, sehingga perlu adanya pemilahan lahan dalam aturan tersebut, yang dapat diterima oleh semua kalangan dengan tidak mengorbankan sebagian masyarakat lokal. Â Kebakaran hutan dan lahan sangat merugikan semua pihak, hal ini sangat disadari oleh masyarakat yang bergelut dalam bidang pertanian dan perkebunan, baik skala kecil maupun menengah dan besar.Â
Di samping itu, larangan perlu disertai penyediaan cara alternatif yang setara dengan cara yang dilarang tersebut, sehingga masyarakat yang masih subsistence dalam kehidupannya dapat melaksanakan cara alternatif tersebut tanpa bertambah beban hidupnya.  Larangan saja cenderung menimbulkan antipati dan perlawanan, karena bisa saja sesuatu yang dilarang adalah bagian dari budaya yang mempunyai nilai dan normanya sendiri yang memerlukan waktu dan syarat-syarat tertentu dalam perubahannya. Apalagi bila kebiasaan tersebut telah teruji  dalam beberapa generasi dan menjadi pengetahuan yang terus diwariskan kepada generasi berikutnya sebagaiindigenous knowledge, yang perlu dihargai oleh semua stakehorders. Larangan pembakaran lahan bagi semua kalangan adalah tragedi pengetahuan, yang perlu disesalkan dan menyesatkan.