Mohon tunggu...
Hendy Hew
Hendy Hew Mohon Tunggu... Konsultan Hukum -

Hanya seorang warga masyarakat yang peduli dengan pelayanan publik yang bersih dan profesional dan memimpikan Indonesia menjadi bangsa yang tidak hanya besar namun dihormati.

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Dimana Hanif Dhakiri Jika Tidak Ada TV Meliput

10 Desember 2015   14:50 Diperbarui: 10 Desember 2015   16:01 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sebagai seorang warganegara yang mendukung gerakan revolusi mental yang dicanangkan oleh presiden Jokowi, saya merasa sangat senang ketika di televisi melihat kinerja para pejabat negara khususnya menteri yang mencoba meniru kerja keras dan sikap rendah hati dari bpk presiden RI. Namun sayangnya tidak semua pejabat-pejabat tersebut tergerak untuk mengikuti sang pemimpin karena panggilan hati karena tidak sedikit juga yang "berpura-pura" bersikap rendah hati dan bekerja keras hanya ketika diliput oleh media massa atau didepan publik.

Salah seorang pejabat/menteri yang terlihat paling semangat dalam melakukan "kerja keras" menurut saya adalah menteri ketenagakerjaan Hanif Dhakiri. Beberapa hari setelah terpilih sebagai menteri, beliau langsung menunjukkan aksi "didepan" media televisi yaitu memanjat pagar sebuah perusahaan penyalur tenaga kerja yang dianggap bermasalah. Dan juga beliau mencoba menunjukkan sikap rendah hati dengan seringnya beliau makan-makan dan nongkrong di warung-warung jalanan yang dipenuhi wartawan, selalu melipat lengan baju dan lain sebagainya.

Namun sayangnya, menurut saya "kerja keras" pak menteri ini hanya sebatas "pencitraan" semata bukan dari hati nurani seperti bpk presiden atau gubernur DKI Basuki T. Purnama. Hal ini terlihat jelas, dimana pak menteri hanya terlihat semangat apabila diliput oleh media massa khususnya televisi bahkan rela bernyanyi sambil berjingkrak-jingkrak seperti ditayangkan diacara Mata Najwa. Seandainya pak menteri betul ingin bekerja dan berjiwa negarawan, saya kira tidak perlu "berjingkrak-jingkrak" atau "berpantun ria" di media massa, namun cukup perbaiki kinerja di dalam jajarannya sendiri yaitu Departemen Ketenagakerjaan.

Sudah menjadi rahasia umum bagaimana pelayanan di Kementerian Ketenagakerjaan khususnya Direktorat Penggunaan Tenaga Kerja Asing (DPTKA). Bagi masyarakat yang pernah berurusan dengan instansi ini pasti sudah tahu bagaimana pelayanannya. Walaupun seluruh proses perizinan TKA telah diatur didalam Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 16 Tahun 2015 (Permenaker), namun sayangnya dalam praktek peraturan tersebut tidak lebih dari hanya selembar kertas dengan tanda tangan menteri.

Didalam Permenaker tersebut, jelas proses perizinan di DPTKA sangat sederhana dan umumnya hanya diperlukan waktu paling lama 3 hari kerja untuk setiap proses permohonan dan tanpa dipungut biaya; tetapi dalam prakteknya proses permohonan dapat memerlukan waktu hingga berbulan-bulan, kecuali perusahaan rela menggunakan jasa calo-calo yang berkeliaran setiap hari di DPTKA.

Sebagai perwakilan dari perusahaan yang terkadang memerlukan jasa TKA, saya merasakan sendiri bagaimana pelayanan yang tidak jelas terkait jangka waktu permohonan di Direktorat Pengendalian Penggunaan TKA (DPPTKA). Terkait permasalahan ini, saya telah sering melaporkan/menulis surat aduan kepada Menteri Ketenagakerjaan, Direktur Jenderal Pembinaan Penempatan Tenaga Kerja dan instansi terkait lainnya namun tidak pernah mendapat tanggapan. Saya menyadari mungkin karena laporan yang saya ajukan "tidak diliput oleh media massa", sehingga tidak menarik bagi pejabat terkait karena tidak dapat melakukan "pencitraan".

Dengan demikian, saya mulai menyadari pula bahwa melambatnya perekonomian Indonesia bukan dikarenakan ketidakmampuan bapak presiden, namun karena "kesalahan" presiden yang mengangkat "orang-orang tidak bermutu" menjadi pembantunya hanya karena politik balas jasa. Untuk itu, saya bermimpi suatu hari negara ini akan dipimpin oleh seorang presiden yang berani menolak "bargaining" dari partai politik, dan mengangkat menteri-menteri serta pejabat tinggi bukan berdasarkan hasil bargaining politik namun karena memang orang-orang yang berkompentensi dan tidak hanya mencari muka demi karir politiknya kedepan. *peace*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun