Mohon tunggu...
Heru Cokro
Heru Cokro Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan dan Pengamat SDM

Proud Father!

Selanjutnya

Tutup

Politik

Menggugat Anti Demokrasi dan Anti Kebebasan Berpendapat

17 Desember 2020   21:05 Diperbarui: 18 Desember 2020   04:04 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar BBC.com

Saya tergelitik untuk katarsis dalam bentuk tulisan untuk topik demokrasi ini mengingat dua fenomena yang berbeda tapi sepertinya senafas. Fenomena pertama, kontroversi pemilihan AS yang belum selesai sampai sekarang. Sementara fenomena kedua adalah peristiwa yang belakangan makin seru mengisi media dan newsfeed sosial media kita.

Peristiwa pertama, pemilihan presiden AS yang terus menerus menjadi pro kontra karena tuduhan Donald Trump bahwa telah terjadi kecurangan secara masif dan sistematis dalam mekanisme pemungutan suara. Masalah dengan tuduhan Trump adalah sampai hari ini Trump tidak berhasil membawa bukti yang nyata bahwa telah terjadi tindak kecurangan. Lebih rumitnya lagi, berdasarkan tuduhan yang relatif imajiner ini, Trump menuntut pembatalan kertas suara di 4 (empat) negara bagian yang memiliki konsekwensi logis: Donald Trump bisa menang dalam pemilihan AS.

Tuntutan pembatalan kertas suara ini ditolak oleh jajaran pimpinan empat negara bagian ini, dan ketika digugat di pengadilan, hakim pun menolak tuntutan Trump karena -yap- tidak ada bukti legal yang menguatkan tuduhan kecurangan ini. Yang ada hanya drama di rapat dengar pendapat parlemen negara bagian, adu demonstrasi antara pendukung dan anti Trump serta perang kata-kata di TV dan Twitter.

Aksi kejutan terakhir yang dilakukan oleh barisan pendukung Trump: tuntutan pembatalan hasil pilpres di empat negara bagian ke Mahkamah Agung oleh delapan belas jaksa-jaksa negara bagian (di AS, sebagian besar jaksa negara bagian ditentukan lewat pemilihan) yang separtai dengan Donald Trump, partai republik. Ini preseden yang luar biasa mengingat di AS setiap negara bagian memiliki independensi untuk menyelenggarakan pemilihannya sendiri tanpa campur tangan negara bagian lain ataupun pemerintah federal. Salah satu alasan tindakan ini diambil karena konstitusi AS memungkinkan suatu tuntutan dapat langsung diangkat ke forum Mahkamah Agung tanpa melewati pengadilan negara bagian bila menyangkut kasus hubungan antar negara bagian. Sementara Trump dan kroninya yakin bila kasus ini dapat diputuskan oleh Mahkamah Agung maka hasilnya akan menguntungkan pihak Trump karena 6 (enam) dari total 9 (sembilan) hakim Mahkamah Agung AS diusulkan oleh Presiden dari partai republik (partai asal Trump). Sepertinya manuver yang cerdik, bukan? Tapi hasilnya? Mahkamah Agung AS secara tegas menolak memproses kasus tersebut.

Ada yang fenomena menyedihkan (atau mungkin membahagiakan?) terselip dari rentetan peristiwa di atas: pendukung partai republik yang berjumlah 70 juta orang lebih relatif solid mendukung segala aksi Donald Trump. Demikian pula jajaran partai republik dengan segala cara mencoba membatalkan kemenangan Joe Biden (lawan Trump) termasuk 100 orang lebih anggota parlemen partai republik yang menolak mengakui kemenangan Joe Biden. Mereka semua secara konsisten percaya dengan klaim Trump bahwa telah terjadi kecurangan dalam pilpres AS kemarin serta secara konsisten memberikan dukungan moral dan dana terhadap segala polah Trump (jumlah donasi yang berhasil dikumpulkan organisasi kampanye Trump paska pilpres -bukan sebelum pilpres- membengkak sampai kurang lebih 2,8 triliun rupiah!). Ini semua terjadi saat argumen di pengadilan dan investigasi hukum tidak membawa bukti-bukti yang relevan sama sekali.

Ini mungkin membuat kita tercenung: fenomena anti demokrasi seperti itu bisa muncul di Amerika Serikat yang selama ini dikenal sebagai Jawara Demokrasi. Ini mengisyaratkan kemungkinan terburuk, kecuali telah terjadi kecurangan yang luar biasa hebat sehingga tidak satupun bukti nyata yang bisa digali, atau sebetulnya, demokrasi adalah nilai yang ringkih sebanding lurus dengan ringkihnya persepsi dan keyakinan individu. Demokrasi tak lain sebuah nilai yang bahkan di sebuah negara dengan tradisi demokrasi dan proses internalisasi ratusan tahun pun rentan dicampakan demi aspirasi kelompok atau bagian.

Lalu bagaimana dengan Indonesia? Kita tidak memiliki tradisi demokrasi ratusan tahun. Kita baru mengecap ide demokrasi dan kebebasan berpendapat secara holistik praktis paska reformasi 98. Dalam beberapa kesempatan saya masih menyaksikan beberapa pejabat menyampaikan ucapan,".. yaaah di era reformasi seperti sekarang ini kebebasan berpendapat harus dihargai... " Seolah-olah pejabat tersebut mengisyaratkan demokrasi dan kebebasan hanyalah satu fase dan fenomena relatif dalam kehidupan berbangsa kita. Dengan kata lain, kebanyakan kita belum sungguh-sungguh meyakini dan menghargai nilai demokrasi dan kebebasan berpendapat sebagai bagian dari struktur nilai kita dan bangsa kita. Masih banyak komentar yang muncul bahwa demokrasi dan kebebasan berpendapat hanyalah ide bangsa asing yang dibawa masuk ke Indonesia. Bisa dibayangkan betapa rentannya kita dengan pencampakan nilai-nilai demokrasi dan kebebasan berpendapat sekarang atau kemudian hari.

Dan kita bisa saksikan sendiri di diskusi personal dan ujaran di media sosial, dimana mungkin saudara, kerabat atau sahabat-sahabat kita tidak peduli bahkan mendukung fenomena anti demokrasi dan anti kebebasan berpendapat yang secara sporadik terjadi belakangan ini. Mungkin tidak ada agenda khusus dari orang-orang terdekat kita ini selain membela figur, konsep atau paradima yang mereka pilih atau sudah terlanjur identik dengan pilihan mereka. Pilihan harus dihargai tapi cara mengusung pilihan ini yang harus diwaspadai. Jangan sampai karena kita terlalu bersemangat membela pilihan kita, kita menafikan kemungkinan kita bisa kehilangan kebebasan untuk membuat pilihan ke depan. Jangan terlena dan tertipu dengan kesan semu demokrasi dan kebebasan berpendapat tapi punya konsekwensi membunuh demokrasi dan kebebasan berpendapat itu sendiri.

Demokrasi dan kebebasan berpendapat bukan hadiah. Untuk mencapainya kita bertukar dengan cucuran keringat, darah dan air mata. Apakah kita mau mengulang jejak sejarah 30 tahun tirani yang ditukar dengan keringat, darah dan air mata anak-cucu kita?

Heru Cokro
https://www.twitter.com/herucokro

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun