Beberapa waktu lalu terlibat diskusi yang menarik tentang bagaimana mengelola rasa khawatir. Hal ini bermula dari cerita salah seorang kawan tentang dilema yang dialami pada saat banjir kemarin. Di satu sisi, dia harus segera mengungsikan keluarganya sementara di sisi lain, rasa khawatir terhadap nasib anak istrinya membuat tensi darahnya naik dan membuat dia lemas kepayahan. Untunglah ada Adiknya yang datang dan urun membantu.
Setelah dibumbui dengan beberapa dialog tentang pendekatan psikologi menangani hal ini, salah seorang kawan yang lain bertanya kemungkinan adanya pendekatan alternatif mengelola rasa khawatir. Saya menyambut dengan dua rekomendasi yang selama ini terasa manjur buat saya: TAWAKAL dan SYUKUR.
Pada titik ini, pelan-pelan saya menyadari rentetan respons menarik dari kawan-kawan diskusi ini. Secara umum mereka menyepakati dan mengapresiasi rekomendasi saya tersebut, seraya beberapa menambahkan tentang pentingnya kedekatan dengan sang Pencipta. Tapi setelah berbasa-basi sejenak, mereka melanjutkan diskusi pada kemungkinan lain yang lebih teknis. Seolah-olah terisyaratkan, Tawakal dan Syukur terlalu konseptual dan kurang praktis untuk menjadi solusi pengelola rasa khawatir.
Rasa ingin tahu saya jadi tergelitik, kira-kira seberapa banyak dari kita yang menganggap Tawakal dan Syukur lebih sebagai simbol? Di era yang penuh situasi, peristiwa dan informasi yang membolak-balikan hati, mungkin sudah waktunya kita merenungkan substansi tawakal dan syukur dengan lebih serius.
Heru Cokro
https://www.facebook.com/heru.cokro
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H