/2/
Ketukan-ketukan di papan ketik,
(membayang) taman-taman bunga menanti dipetik, “ Ibu Hawa,
di detikmu dahulu, apakah kenanga
atau perdu yang kujumputi?”
Menjemputi rumus-rumus, peradaban
menjulangkan rumah-rumah menghubungkan semenanjung-
semenanjung tanpa basah, jaman-jaman beton,
apa kautanami?
Teman-teman tanpa nama itu tetabuhannya
tak terdengar di tetumbuhan, petani-petani yang menggergaji
batang padi, lalu sapi melenguh meminumi solar
dari sumur-sumur yang dirudapaksa pompa di ujung selang
Saling-silang, sesiapa selingkuhi selankang,
para binor (=bini orang) ataukah swamor (=suami orang), tapi
anak-anak gadis tak bisa rayakan ulang tahun ketujuhbelasnya, perjaka
telah tanggalkan jejaknya di celana abu-abunya
Mengabur segera abu-abu yang berarak-arak
di lanskap khatulistiwa mengabut tak di segara (-samodera), halimun
bergelung-gelung di depan beranda, anak-anak yang berhenti
membaca, tak bisa dihirupnya angka-angka
Tak berrangka rumah-rumah, pasak-pasaknya
tak bertanda baca kasrah-fathah-dammah (=a-i-u), dentum-bum bum
di dinding yang menebal musik dan candu, gawai
jadi candu berderet-deret dipajangkan
Dipanjangkannya akal pikir, dilantangkannya
suara dzikir, diparkirkannya nafsu saat parak senja, takkan tampak
wajah-wajah menjajakan keranda kecuali tengadah
mengharap kehadiran kebaikan takdir
Vilani-Bogor, 2015